“Kepo lu!” Dira menjulurkan lidahnya ke arah Galih yang
sedang serius menunggu jawabannya. Gadis itu terpingkal hebat sambil memegangi
perutnya.
Disampingnya, Galih tersenyum kecut. Mengutuk dirinya sendiri
karena mau saja dibohongi oleh gadis galak disampingnya. “Tertawa aja sana,
sampe puas, biar sakit perut sekalian.” Galih mencibir pada Dira yang belum
bisa meredakan tawanya. Tapi tawa itu bagai langgam merdu dalam gaung telinga
Galih. Nyanyian bidadari.
“Maaf, maaf. Habisnya gue gak tahan liat muka lo yang bego
banget kayak tadi.. Hahaha.”
Galih beranjak dari duduknya, merapikan seragamnya dari
debu-debu loteng. “Udah ah, gue mau balik. Telat bisa mampus gue.”
Dengan seketika, tawa Dira reda. Ia ikut berdiri sembari
membenarkan tatanan rambut sebahunya yang sedari tadi terhembus angin. “Gue
juga. Mau masuk kelas.”
“Nyeh, lu ikut-ikut gue aja. Lu gak mau gue tinggalin kan?
Makanya ikut ke kelas.”
Dira menepuk jidatnya, “Emang ini waktunya masuk kelas,
Gaaal. Pede lo ketinggian. Awas jatuh..”
“Gal? Lo panggil gue apa tadi? Gal?”
Dira mengangguk, “Iya. Gal. Nama lo Galih, kan?”
Galih tertawa miris, “Lo kira gue jagal. Panggil Lih gitu
kek. Aneh banget lo manggilnya.”
“Karena Lih sudah terlalu mainstream haha. Udah ah, lo gak
penting banget mempermasalahkan sebutan. Yang terpenting, sebutan itu kan gak
melenceng jauh dari nama lo.” Ujar gadis bermata cantik itu seraya membuat
langkah pada kaki jenjangnya. Meninggalkan Galih yang sedari tadi dibuatnya
terpana.
Dira baru saja hilang dari
hadapanya. Galih geleng-geleng kepala sendiri, sedikit gemas dengan tingkah
Dira. Dia lebih menyenangkan dari yang lo
kira, Daren.
-
Burung-burung gereja berterbangan dilangit sore, mengikuti kemana arah angin pergi.
Senja masih berbalut duka. Daren belum bisa melupakannya. Kejadian
pahit yang di alaminya selama bertahun-tahun lalu masih membekas dibenaknya.
Hampir setiap hari hatinya dirundung rasa rindu, rasa kecewa, rasa amarah.
Pemuda itu menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya
dengan perlahan. Ia memetik gitarnya lagi, dengan ritme yang pilu. Kepalanya
tertunduk bisu. Entah sampai kapan ia harus begini. Selalu menyalahkan
keadaan. Harusnya tak seperti ini, harusnya begini, harusnya ia tak ada, dan
harusnya harusnya yang lain.
Tiba-tiba saja matanya berkaca-kaca. Ternyata luka itu masih
terasa. Masih sama. Bahkan ia sendiri tak tahu bagaimana cara menyembuhkannya.
Ia menengadahkan kepalanya pada langit senja yang ia lihat
dibalkon kamar asrama. Kemudian tersenyum. Getir. Jari-jarinya masih membuat
nada-nada. Memorinya mengelupas seketika, saat ia menikmati kedamaian
senja untuk yang terakhir kalinya, bersama seorang adik perempuan disampingnya.
Mereka berdua bernyanyi bersama, tertawa bersama, saling
memukul, mengejek, bermanja dengan orang tua mereka, dan pada saat mereka
lelah, mereka berdua akan tidur bersama. Itu yang membuat orang tua mereka
tidak pernah berhenti tersenyum menyaksikan keduanya.
Sore itu, sebuah keluarga yang bahagia akan berkunjung ke
Surabaya, mengunjungi paman dan bibinya yang tak pernah sekalipun mereka temui.
Perjalanan itu mereka tempuh dengan menggunakan mobil. Ditengah tengah perjalanan itu, Daren mendengar suara decitan
rem yang sangat nyaring. Kemudian diikuti oleh teriakan yang memilukan. Ya,
mobil yang ditumpangi keluarga kecil itu mengalami kecelakaan.
Dan semenjak saat itu, Daren membenci senja. Membenci segala
hal yang terjadi setelah kecelakaan besar itu menghantamnya.
“Ren, lu gapapa?” gertak Galih yang sedaritadi memanggil
Daren tapi tak ada jawaban.
Daren mengerjap sekali, air bening dimatanya menetes, dengan
sigap ia menghapusnya. “Lo itu ngagetin gue mulu kerjaannya.”
“Lah, dari tadi gue udah gedor pintu, udah salam berpuluh-puluh
kali, udah panggil nama lo ratusan kali, tapi teteeep aja kagak ada jawaban.”
Mata Daren membelalak, “Masa sih? Kok gue gak nyadar ya?”
Galih terkekeh seketika. Pemuda itu langsung saja duduk
dikursi sebelah Daren, menikmati senja sambil mengunyah permen karetnya. “Sampai
kapan lo begini, Ren?”
Daren mengerti benar maksud pertanyaan Galih. Pemuda
berhidung mancung itu tersenyum tipis, tapi miris. Tak lama, ia meletakkan
gitarnya disebelah kursi yang didudukinya tadi. “Entah. Gue gak tau sampai
kapan..”
Galih menatap kawannya itu, “Kunci dari semuanya itu Cuma
ikhlas, Ren. Gak ada yang lain.”
“Kadang berbicara itu gampang banget lho, Lih.”
Galih tercekat, “Ehm, sorry Ren. Gua gak bermaksud.”
“Hahaha. Iya gapapa. Gue aja yang keterlaluan. Ah, udah ah.
Ngapain lu ikut-ikutan galau kayak gue. Oh iya, gimana Dira? Lo bisa jaga dia,
kan?”
Galih mengangguk, “Sure. Dia baik-baik aja kok, Ren. Target
gue selanjutnya adalah dia bisa cerita ke gue tentang siapa jati dirinya. But,
slowly lah. Gak usah buru-buru. Karena gue udah dibikin nyaman dengan
candaannya.”
“Njir, lo puitis banget sih. Hati-hati lo kepincut.”
“Kalo udah kepincut, gimana dong?”
“Ini nih, anak muda jaman sekarang. Gampang banget jatuh
cinta.”
Galih terbahak sembari geleng-geleng kepala sendiri. “Oh iya,
Ren. Lo tau gak kalo Dira suka banget sama alam?”
Daren mengangguk, “Tau. Dari kecil itu dia suka banget sama
ketinggian, suka naik atap rumah, suka naik pohon. Pernah gue tanya, kenapa dia
begitu eh jawabannya karena dia ingin berbicara dengan angin. Sinting, kan?”
“Ooh gitu. Tadi dia bilang, kalau lo yang buat dia jatuh
cinta dengan alam.”
Daren membelalakkan matanya, terkejut seketika, kemudian
terkekeh “Ogak. Gak pernah sama sekali. Ngarang tuh anak. Ketemu sama dia aja
gue gak suka, apalagi berduaan dan buat dia jatuh cinta sama alam.”
“Coba lo inget-inget lagi deh, Ren.”
Daren beranjak dari duduknya, “Males inget-inget. Gak
penting.” Ujarnya ketus seraya berlalu meninggalkan Galih dibalkon.
Galih mengangkat bahu. Bingung dengan sikap sahabatnya itu.
-
-
Di dalam perpustakaan sekolah, seorang gadis masih bersikukuh
mencari buku materinya. Tak mudah mencari materi yang tepat pada buku sebanyak
ini, dalam perpustakaan sebesar ini. Setelah mengambil sebuah buku, dibacanya
sebentar, lalu diletakkannya lagi pada tempatnya, bukan buku yang cocok. Lalu
ia mencari lagi, mencari, dan terus mencari.
Sampai akhirnya, jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Gadis
itu ketiduran. Dengan mata yang hampir separuh terbuka, ia membereskan
buku-buku yang berserakan di meja perpustakaan.
Setelah itu, ia keluar dari perpustakaan. Koridor sekolah
tampak sepi dan gelap. Tiba-tiba saja hawa aneh menghampirinya. Dengan
kesadaran yang pulih seketika, gadis cantik itu memperlebar langkah kakinya
menyusuri koridor. Ia mempercepat jalannya, dan bahkan sampai berlari kecil.
Untung saja, ruang perpustakaan tak jauh dari gedung asrama putri
dan putra, jadi gadis itu bisa langsung kembali ke asrama tanpa merasakan horor
yang berkelanjutan.
Gedung asrama putri berada paling ujung, tentu saja melewati
gedung asrama putra. Derap langkah gadis itu mulai melambat ketika ia menemukan
sebuah keganjilan dibalik tembok gedung asrama putra. Ia melihat asap dalam
kegelapan. Entah asap apa itu.
Langkah kaki yang seharusnya menuju ke asrama putri, kini
berbelok ke asrama putra. Ia lebih tertarik untuk melihat apa dibalik tembok
itu.
“Bang Daren?”
Daren terperanjat, segera menyembunyikan benda yang berada
ditangan kanannya.
“Abang ngerokok?” tanya gadis itu sekali lagi.
Daren menatap Dira gusar, ingin sekali mencekik gadis itu.
“Kenapa? Mau ngadu? Aduin sana..”
Dira geleng-geleng kepala tak percaya, “Gak nyangka bang
Daren ngerokok..”
“Kenapa sih?” Daren meninggikan suaranya satu oktaf. “Lo gak
suka? Gue nakal? Terus, peduli apa lo sama gue? Eh inget ya, gue jadi kayak
gini juga gara-gara elo.” Ujar Daren lantang seraya menunjuk tepat dimuka Dira.
Gadis itu tercengang, cukup lama, hingga cairan bening
dimatanya hampir saja tumpah.
“Jangan pernah sekalipun lo ikut campur masalah gue.” Ujar
Daren seraya mengacungkan telunjuknya tepat di muka Dira.
Gadis itu mengangguk kecil, ia masih menatap mata kakak laki-lakinya
itu dengan pandangan yang memilukan.
“Udah pergi sana. Ganggu banget lo.” Bentak Daren cukup keras
hingga membuat gadis itu terperanjat.
“Selamat malam, Bang.” Kata Dira seraya meninggalkan pemuda
yang mulai menghisap tembakau ditangannya kembali.
Daren menatap punggung Dira yang
mulai menjauh. Entah mengapa rasa benci itu meluap begitu saja saat dihadapan
adik tirinya. Ia mengerjap sekali, menghembuskan nafas perlahan. Getir.
-
-
Hari berikutnya di loteng sekolah. Pemuda dengan gaya rambut
yang acak-acakan itu sedang menatap gadis disampingnya dengan cermat. Ada yang
berbeda disana. Begitu sayup pandangan gadis itu, tak seperti biasanya.
Pemuda itu melahap kembali roti tawar dihadapannya, bingung
mencari kata pembuka yang tepat untuk mengawali pertemuan mereka kali ini.
Tiba-tiba saja Dira berteriak kencang, “Aaaaaaaaaaaaaaaa..”
kemudian ia menangis. Terceguk diatas sofa butut yang didudukinya.
Galih kebingungan bukan main. Ia meletakkan sisa roti tawar
yang tak sempat dilahapnya ke atas piring plastik itu lagi. “Hey bocah, elu
kenapa?”
Dira menangis lebih kencang sembari menutup seluruh mukanya.
Air matanya meluap begitu saja, ia ingin bebas. Ia ingin bercerita dengan alam.
Ia ingin alam mendengarnya.
Dan Galih memeluknya. Mendekap gadis itu hingga ia merasakan kehangatan.
Hingga gadis manis disampingnya berhenti menangis. Dan ia percaya bahwa sebuah
pelukan adalah kepedulian tanpa kata.
Tangis Dira kembali meledak setelah ia merasa bahwa Galih
memeluknya. Baru kali ini ia merasa tak lagi sendiri melewati kepedihan. Ada
seseorang disampingnya yang begitu tulus menjaganya.
“Lo nangis aja sampai puas. Karena air mata adalah
bukti bahwa Tuhan mencintaimu.”
Ah, Galih.
Kenapa bukan elo aja sih yang jadi abang gue? Begitu ujar Dira dalam
hati.
Beberapa menit kemudian, Dira mulai bisa mengatur kembali
emosinya. Tuhan menjawab doanya.
Dan kini Galih pun merenggangkan pelukannya. Pemuda itu
membantu Dira untuk mengusap air matanya.
Dira tersipu. Ia terkekeh melihat sikap Galih. “Hehe, makasih
banyak ya Gal. Lo baik banget.”
Galih menggaruk punggung kepalanya yang tak gatal. Sedikit
dibuat salah tingkah. “Lo kenapa?”
Dira tersenyum sekilas, juga melirik Galih dalam waktu
beberapa detik saja. “Tiba-tiba aja gue pengen nangis, Gal. Gue lagi kangen
mamah papah kali ya..”
Galih mengernyit heran. “Kangen mama papa? Lo kayak bocah SD
aja.”
“Hehehe. Emang gue masih bocah. Lu sendiri yang bilang.”
Galih mencibir kesal. Kemudian pemuda itu mengambil air
mineral dalam botol yang dibawa Dira tadi. “Minum dulu, gih. Sebelum kelas
bersihin muka lo. Jelek tau.”
Dira menerima botol itu seraya mengangguk dan meminumnya.
Setiap tegukan dalam tenggorokannya membuat perasaan gadis itu kembali membaik.
“Gue bisa jaga rahasia, kok. Lo boleh cerita kapanpun ke gue.
Gue selalu ada buat lo, Ra..” ujar Galih sembari membereskan makanannya.
Dira menatap Galih seraya mengangguk. “Iya, Gal. Gue tau lo
baik banget. Tapi gue rasa, gue belum bisa ceritain masalah ini ke siapapun.”
Gadis itu mendekap botol air di dadanya.
Kemudian ia melirik jam tangan hitam dipergelangan kirinya. “Habis ini
masuk. Gue mau beres-beres muka dulu. Sekali lagi, makasih ya..” kata Dira
sambil menepuk pelan bahu Galih.
Galih mengangguk seketika, ditatapnya tubuh Dira yang
berjalan dengan gontai menuju tangga, pemuda itu membaca kesedihan dalam setiap
langkah yang dibuat Dira. Derap kaki yang memilukan.
Pasti
gara-gara Daren. Pasti.
-continued-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar