The Gift of a Friend
Kalian masih inget nggak, novel
Wopoae? Sebuah karya sastra berbahasa lepas landas lalu turun menikung lincah
bak permadani Aladin. Sebuah karya sastra dari beberapa siswi yang fanatik
banget sama idola mereka. Kini hadir kembali! Tapi dengan bahasa dan suguhan
yang berbeda karena saya bukan murid SMP lagi. Memang, terikat dengan bundelan
sastra itu gak enak, gak bebas, gak alami. Lha oleh karena itu, saya berusaha
sekuat tenaga untuk menyamakan bahasa dalam tulisan saya dengan novel
sebelumnya. Kalau ada bahasa yang kurang enak mohon dimaklumi yaa, masih
amatiran -__-
Okay. Let’s reading and enjoy
this silly story!! XP
***
Ketika semuanya tak kembali sama
seperti sedia kala, disinilah kita mulai merasa kehilangan. Ketika dulu ia masih
bisa berbagi waktu dengan kita, tapi kita hanya menganggapnya desauan angin tak
diundang, disinilah kita merasa ingin memutar kembali sang waktu dan menjaganya
dalam dekap kasih. Dan ketika kini tiada lagi orang yang sama sepertinya,
disinilah kita merasa seolah gravitasi menghianati kita.
***
@Bandara Soekarno Hatta, Jakarta.
Pemuda itu mondar-mandir sembari
terus menengok ke arah arlojinya. Seolah diburu waktu. Sesekali ia duduk dan
mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Tapi hatinya terlalu bergejolak hingga
ia tak dapat menafsirkan apa arti kesabaran sebenarnya.
“Kak Gabriel?” sapa seseorang
tepat dibelakangnya.
Pemuda itu berbalik. Menyusuri
sumber suara itu. Ia mendesah, “Aren? Ngapain disini?” tanyanya kecut.
“Habis jemput papa dari
Balikpapan. Kakak mau kemana?”
“Saya mau ke Surabaya. Nemuin
teman-teman saya.”
Aren terbelalak sesaat,
“Surabaya? Sampai kapan?”
“Sampai sidang skripsi saya
dimulai.”
“Dua minggu lagi?”
Gabriel mengangguk. Ia menyambar
kopernya dan segera masuk ke ruang boarding karena pesawat yang ia pesan sudah
siap.
“Kak Gabriel!” panggil Aren saat
Gabriel tepat diambang pintu.
Gabriel berbalik. Menatap
juniornya itu dengan raut gusar.
“Hati-hati.” Ucap Aren sembari
melambai.
“Makasih..” pemuda itu pun masuk.
Meninggalkan hawa kesedian bagi Aren.
***
Wopoae Crew kini berpencar. Sibuk
untuk menata kehidupan mereka dihari esok. Tata, cewek pintar dengan keramahan
hatinya itu sibuk menekuni fakultas design gravis yang dipilihnya 4 tahun lalu.
Ia masih bertempat tinggal di Surabaya bersama beberapa anggota Wopoae yang
lain, yakni Devi, Linda, Rio, dan Kaito.
Devi, cewek berkacamata itu kini
juga sibuk menekuni kegiatan jurnalistik di kampusnya. Keinginannya untuk
menjadi seorang reporter yang bisa keliling dunia itu membuatnya tak pernah lelah
untuk mendalami fakultas pilihannya.
Linda, cewek cerdas dengan
ketangguhan yang luar biasa. Ia banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja
dikantor ayahnya sendiri. Meski masih kuliah, ia tak pernah kesulitan untuk
mengatur waktunya. Karena ia menjabat sebagai bendahara kedua, serasi dengan
fakultas Akuntan yang dipilihnya.
Dinda, cewek pendiam dan banyak
omongnya. Kini ia berkelana ke Jogjakarta, menimba ilmu pada Universitas paling
tua seIndonesia. Dengan keberanian yang masih seujung jari itu ia mengambil
fakultas sastra Inggris. Keinginannya yang pengen banget S2 di Amerika itu
membuatnya tak pernah berhenti untuk merajut sang mimpi.
Rio, pemuda paling keren itu
mengambil fakultas seni. Tepatnya seni musik. Baru-baru ini ia menciptakan lagu
untuk kekasihnya, Tata, dengan lirik dan irama yang menyejukkan. Ia terobsesi
dengan Jason Mraz, dan suatu saat ia ingin menjadi seorang musisi hebat seperti
JM.
Iel a.k.a Gabriel. Pemuda paling
cakep diantara mereka berdelapan. Sejak lulus SMA lalu, ia pindah ke Jakarta
kembali. Menetap sekaligus bersekolah disana. Hubungannya dengan Dinda masih
berjalan hingga menginjak semester ketujuh ini, meski gak semulus biasanya. Karena
jarak diantara mereka membuat tabir penuh dengan keraguan. Ia mengambil fakultas
ekonomi, sesuai dengan keinginan ayahnya.
Kaito, pemuda paling rame
diantara mereka. Ia mengambil fakultas ekonomi, sama seperti Gabriel. Warung
pangsit milik ayahnya kini mulai memiliki cabang hingga keluar Jawa.
Pengambilan fakultas ekonomi baginya sangat cocok untuk membantu pekerjaan
ayahnya mengatur keuangan.
Heiji, pemuda hitam manis yang
cuek abis ini mengambil sekolah pelayaran. Karena itu, ia sering nonmaden alias
berpindah-pindah. Komunikasinya dengan Linda masih berjalan dengan lancar.
Kadang mereka tetap saja bertengkar tentang masalah sepele. Tapi, mereka tetap
saling menjaga rasa dalam hati mereka masing-masing hingga udara pun tak dapat
masuk untuk mengusiknya.
Tapi mereka, tetap mereka. Para
perajut benang persahabatan. Perbedaan, jarak, dan waktu tak akan pernah
merubahnya. Walau mereka tak dapat berkumpul seperti masa SMP dan SMA dulu,
tapi mereka berusaha untuk saling menjaga kebersamaannya. Karena tiada benang yang tak dapat putus, kawan.
***
Devi, Dinda, Tata, dan Linda
duduk bersama diruang tunggu bandara Juanda. Mereka cukup tegang menanti
kedatangan Iel. Terlebih lagi Dinda, gadis itu gelisah bukan main, harusnya
pesawat Iel datang tepat 3 jam yang lalu.
Tak lama, Rio, Kaito, dan Heiji
datang membawa kantong plastik berisikan makanan dan minuman.
“Ayoo, minum dulu yuk.” Ajak
Heiji seraya membagikan fanta kaleng untuk kawan-kawannya.
Rio dengan gesitnya menyambar
chitato dari kantong plastic ditangan Kaito.
“Buset, dari dulu lo kagak pernah
berubah, Yo. Chitatoo mulu.” Protes Kaito.
“Suka-suka gue dong. Hidup, hidup
gue. Masalah buat lo?” cibir Rio.
“Heeeh. Yang sekarang berubah itu
kalian berdua. Inget gak, jaman SMP dulu? Kalian berdua itu kan saling
menyayangi.” Kata Heiji gusar.
Devi, Dinda, Tata, dan Linda
ketawa kompak. Rio dan Kaito salah tingkah. Memang, awal mereka bersahabat itu
udah kayak ibu sama anak. Rio anaknya dan kaito ibunya. Konyol.
“Udah deh, Yo. Kamu itu udah gede
masih kayak anak kecil aja.” Ujar Tata seraya meminum fantanya.
“Apa salahnya? Berubah menjadi
anak kecil itu menyenangkan. Iya gak, Kai?” Rio merengkuh pundak Kaito.
“Benar!” jawab Kaito sembari
membalas rengkuhan Rio.
“Ngomong opo..” gerutu Devi dan
Linda. Tata melengos.
“Aduh. Pak lunglit ini kemana,
sih? Lama ameeeet.” Celetuk Dinda yang gak sabaran.
“Kesasar ke Amrik kali.” Kata Rio
jahil.
“Atau jangan-jangan dia kesini
naek becak? Makanya kagak sampe-sampe.” Timpal Kaito.
“Gak usah didengerin, Din. Mereka
rada gak ngeh.” Kata Linda.
“Sabar buu, perjalanan. Mungkin
cuacanya gak mendukung penerbangan.” Tambah Devi.
“Bener. Kali aja ada kesalanan
teknis. Sabar Din, pasti kalian ketemu kok.” Ujar Tata seraya menepuk-nepuk
punggung Dinda.
Dinda terkekeh, “Apaan sih
kalian. Emang ini bawaan kangen kali, haha.”
Tak lama kemudian.
“Permisi, mau Tanya mbak.. mas..”
Kompak, mereka bertujuh menoleh
ke belakang. Tempat sumber suara itu datang. Dan Iel berdiri disana, dengan
senyuman khasnya yang gak pernah berubah.
“Woy! Mas Iel reek..” Heiji, Rio,
dan Kaito langsung memeluk Iel.
Cewek-cewek pada menjerit senang
melihat kawannya itu datang. Rasanya, saat ini mereka pengen banget kembali ke
masa-masa indah dulu. Tanpa beban, penuh angan.
“Berhenti, bro. kita beri
kesempatan untuk pacarnya doong.” Kata Heiji. Rio dan Kaito pun melepas
pelukannya untuk Iel.
“Assalamu alaikum. Aku kangen
banget sama kamu, sapi pink.” Kata Iel. Bibirnya terlukis senyuman tipis.
“Wa’alaikumussalam. Aku gak
kangen. Tapi kangeeen banget, pak lunglittt.” Dinda pun mencium punggung tangan
Iel. Sebutir Kristal bening turut hadir dalam pertemuan mereka.
“Lho.. lho.. lho..” koor
kawan-kawannya seolah menggoda.
“Gak usah nangis,” ucap Iel
lembut seraya menyeka airmata di pipi Dinda.
“Jadi ngiri deh gue..” kata Rio
spontan.
Oooppss. Tata mukanya langsung
merah.
“Ayo pulang yuk. Yang cowok ke
rumah gue, yang cewek ke rumahnya Linda.” Kata Kaito yang mulai berbenah diri.
“Oke. Oh iya, remember! Nanti
malem kita wajib hang out bareng.” Ujar Linda.
“Waduh, kemana Lind?” Tanya
Heiji.
“Gue bokek nih..” kata Kaito
memelas.
Linda mendengus kesal, “Terus kita
ngapain? Berdiam diri di rumah? Mencari jati diri? Berbagi pengalaman?
Helloooow. Udah dua hari lalu kita gak ngapa-ngapain, Cuma nunggu Iel dateng,
tapi gak dateng dateng..” protes gadis itu.
“Ya maap..” ucap Iel memelas.
“Ehm. Gimana kalau kita ngelakuin
ritual kayak kelompencapir? Kayak yang dilakuin Kugy dkk itu lho. Kan asyik?”
usul Dinda.
Tata dan Devi langsung angkat
jempol, “Mantap cuiy!” puji mereka. Dinda tersenyum puas.
Heiji mengangguk. “Boleh.
Dimana?”
“Ya dirumah gue dong.. gak baik
kalau cewek yang ke rumah cowok malem-malem.” Kata Linda.
“Deal?” tawar Devi sekali lagi.
“Ok. Deal.” Jawab Iel, Heiji,
Kaito, dan Rio kompak.
***
@Linda’s Home, 19.30 p.m.
“Eh Dind, posisi mejanya beneran
kayak gini kan?” Tanya Linda.
“Bener kok. Tapi jangan sampai
diatas meja ada apa-apanya. Karena bakalan diisi sama pizza. Oh iya Lind,
Coffee latenya ada dimana ya?” jawab Dinda seraya mondar-mandir di dapur.
“Di lemari makan atas bagian
tengah. Ada banyak kok.”
“Iya, udah ketemu nih. Thanks.”
“Mereka udah dateng!” seru Tata
yang gak sengaja mengintip lewat jendela.
“Gue yang bukain pintu, deh..”
kata Linda seraya berjalan ke teras rumah.
“Lindaa, ikuuut.” Devi mengekor
dibelakangnya.
Tata menuju ke dapur, membantu
Dinda membuat kopi.
Sampai diluar rumah, Linda dan
Devi mempersilahkan keempat kawannya untuk masuk.
“Gue kangen kesini. Sejak kita
berhenti naik anjemnya pak Daud, gue udah jarang lewat sini. Arah rumah kita
berlawanan, Lind..” kata Heiji sembari menatap sekelilingnya.
Linda tersenyum sedih “Iya ya, dulu
kan kita semua pernah naik anjem bareng.”
“Yang namanya kenangan, gak akan
pernah habis kalau dibicarakan.” Celetuk Rio.
“Udah eh. Kenapa kita jadi galau
begini sih? Inget tujuan utama! Have fun rek.” Kata Devi memperingatkan.
“Tau nih, gara-gara Heiji sih.”
Protes Kaito.
“Kok gue?” bela Heiji pada
dirinya sendiri.
“STOP.” Iel mencegah adu mulut
antara Heiji dan Kaito.
“Silahkan masuk,
kawan-kawaaaan..” kata Linda seraya berjalan duluan dengan Devi. Dan keempat
anak itu pun ikut masuk dan duduk disekitar meja bundar yang sudah ditata rapi
sebelumnya.
“Welcome, guys.” Kata Tata yang
baru saja keluar dari dalam, disusul dengan Dinda yang membawa beberapa cangkir
coffee late.
“Oh iya, ini pizza jumbonya.”
Ujar Iel sembari meletakkan pizza diatas meja bundar.
“Udah siap semua? Gue matiin ya
lampunya?” Devi pun memadamkan lampu ruang tamu. Dan tersisa cahaya lilin
disekitar mereka.
“Wuih, keren.” Puji Rio.
“Oke guys. Kita mulai ritual
ini.” Kata Dinda. Kedelapan orang itu duduk memutari meja. “Cara mainnya begini,
pertama-tama gue akan bacain pertanyaan untuk kalian semua. Pertanyaan itu
harus dijawab dengan sejujur-jujurnya. Biar diantara kita gak akan pernah ada
rahasia. Yang jawabannya paling gokil atau paling bagus, akan diberi kesempatan
untuk memberikan pertanyaan pada soal kedua. Gimana? Setuju?”
“Setuju!!”
“Baiklah. Pertanyaan pertama. Apa
kenangan yang paling gak bisa dilupakan untuk kalian saat masa-masa SMP-SMA?”
Iel angkat tangan, “Pengalaman
yang paling gak bisa gue lupain adalah saat gue sama dia saling mengikat janji
satu sama lain. Disaksikan oleh para lampion, danau, dan malam.”
Dinda tersenyum hangat, “Kalau
gue sih waktu gue mau pindah tapi gak jadi. Syukur banget itu.” Gadis itu
terkekeh pelan.
Kaito angkat tangan. “Waktu
ngerjain Cakka. Huahahaha.” Pemuda itu tergelak sendiri dalam tawanya.
Tata angkat tangan, “Waktu ketemu
mbak Lisa sama mas Dayat. Untung waktu bis kita mogok ada mereka.”
Linda angkat tangan. “Waktu gue
sama Heiji dikerjain sama Dinda Iel waktu tidur dipesawat. Sialan kalian,
haha.”
Rio angkat tangan. “Saat kita
semua pergi ke Jakarta dan gue dapet pic gitar dari Om Jason. Gila. Itu keren
sekali.”
Devi angkat tangan. “Waktu awal
jadian sama Kaito! Gara-gara time zone, uang kita habis dan belum nyadar juga
saat kita udah selesai makan banyak di restoran. Untung aja ada Linda sama
Heiji yang ngebayarin kita, hehehehe..”
Heiji angkat tangan. “Saat Edmund
berusaha ngedapetin Linda. Sampai sekarang, gue belum bisa maafin ntu orang.”
Ujar Heiji seraya menatap manik Linda. Linda tersenyum salah tingkah.
“Oke! Jawaban yang paling bagus
adalah punyaaaaa………………… Kaito! Singka, padat, tapi gak jelas! Kepada saudara
Kaito, waktu dan tempat kami persilahkan..” kata Dinda asal.
Kaito mengangguk hormat kepada
kawan-kawannya. “Terimakasih. Terimakasih. Untuk pertanyaan gue adalah sekarang
kalian semua lagi deket sama siapa? Sedekat apa? Sudah. Silahkan jawab.”
Rio mengangkat tangan, “Deket
sama gitarku. Nothing a day without it.” Katanya lebay.
Devi angkat tangan, “Deket sama Irva.
Temen sefakultas. Sedekat wartawan dengan kameramennya, hehe.”
Kaito angkat tangan, “Deket sama
Keke. Anak kecil yang sering minta pangsit gratis sama otou-san..”
Heiji angkat tangan, “Temen-temen
seangkatan. Gimana gak deket? Wong kita tinggalnya sekapal?!”
Tata angkat tangan, “Gue lagi
deket sama kak Acie. Motivator terbaik disetiap gue membutuhkan inspirasi.”
Linda angkat tangan, “Deket sama
mbak Zahra. Bendahara pertama, partner kerja gitu dah..”
Iel angkat tangan dengan ragu.
Semua orang menatapnya curiga. “Gue lagi deket sama Junior gue, namanya Aren.
Kita Cuma sebatas temen kok, dia sering Tanya-tanya materi sama gue. Dia juga
anaknya temen papa..”
Entah mengapa, ada luka kecil
yang terasa perih dihati Dinda. Tapi gadis itu berusaha untuk tak menggubris
pernyataan Iel. “Kalau gue lagi deket sama anak-anak Sekolah Terbuka tempat gue
ngajar di Jogja. Mereka itu bukan sekedar motivator, tapi juga sebagai
penyemangat saat gue nyerah. Mereka semua adalah bidadari-bidadari surga yang
diutus Allah buat nemenin gue.”
Mereka berdelapan bertepuk tangan
serentak setelah jawaban terakhir terdengar. Itu tandanya, ritual gak jelas ini
telah selesai.
Devi pun bergegas untuk
menyalakan lampu. “Mari kita makan pizzanyaaa!!” serunya seraya berebut
mengambil bagian pizza dengan kawan-kawannya.
“Kapan-kapan kita main beginian
lagi, yuk.” Usul Tata.
“Bener itu! Tapi, pizzanya
dibanyakin.” Sambar Kaito.
“Jangan pizza doang, chitato juga
dooong..” kata Rio sembari melahap pizzanya.
“Huuuuu!!” koor semuanya seolah
menyerang Rio. Kalau pake chitato mah yang makan Rio semuanya. Bisa-bisa yang
lain gak dibolehin makan, lagi.
“Ta, kamu kan designer ya? Gambar
aku lagi peluk chitato doong..” kata Rio sembari mendekati Tata.
Tata langsung mengernyit heran,
“Gak ah, jelek.”
“Eh? Apanya yang jelek? Kita
sama-sama cakep kok..”
“Pokoknya aku gak mau. Wlek.”
Tata menjulurkan lidahnya, lalu ia pindah tempat dan duduk diantara Dinda dan
Devi, menjauhi Rio yang autisnya lagi kumat.
“Yaelah, Yo. Lo gak tau aba-aba
ya?” celetuk Heiji yang lagi membuka pintu rumah mencari udara segar.
Rio menggeleng, “Aba-aba apaan
sih?”
Iel berbisik, “Sebenernya Tata
itu cemburu kalo elo minta digambarin bareng chitato, bukan bareng sama dia.
Gak peka amet sih luu.”
Rio manggut-manggut sambil
tersenyum ke arah Tata. Membuat gadisnya lagi-lagi salah tingkah. “Jadi itu
tanda-tandanya cewek cemburu, ya?” Rio balik berbisik pada Iel.
Iel mengangguk, “Benar sekali.”
“Heh pak lunglit! Jangan ajarin
Rio macem-macem.” Ancam Dinda pada Iel.
Iel menyengir lebar “Tenaaang,
bukan apa-apa kok..”
“Hoy! Mendung woy! Ayo pulang.”
Kata Kaito yang sedaritadi diluar bersama Heiji.
“Yelah, cepet amet.” Gerutu
Linda.
“Kita gak bawa jas hujan, ayo
pulang Gab, Yo.” Ujar Heiji seraya mengambil jaketnya. “Oh iya Lind, thanks
buat tempatnya. Nice dream ya.”
“Sama-sama, Ji. Hati-hati.”
“Kita pulang. Assalamu’alaikum!!”
ucap Rio, Iel, dan Kaito kompak. Dan keempat cowok itu pun akhirnya pulang ke
rumah Kaito.
***
Segelintir
Asa yang
Hambar,
dapat menjadi sebuah
Angan
berwarna
Bagai
pelangi setelah badai
Acuhkan
segala ketakutan untuk
Terus
meraih mimpi tiada ujung..
Dedikasi untuk seluruh Wopoae
Crew dan pembaca setia kami (Kelas IX-H).
To be continue……