Sabtu, 26 Januari 2013

The Gift of a Friend (Special for Wopoae Crew)


The Gift of a Friend



Kalian masih inget nggak, novel Wopoae? Sebuah karya sastra berbahasa lepas landas lalu turun menikung lincah bak permadani Aladin. Sebuah karya sastra dari beberapa siswi yang fanatik banget sama idola mereka. Kini hadir kembali! Tapi dengan bahasa dan suguhan yang berbeda karena saya bukan murid SMP lagi. Memang, terikat dengan bundelan sastra itu gak enak, gak bebas, gak alami. Lha oleh karena itu, saya berusaha sekuat tenaga untuk menyamakan bahasa dalam tulisan saya dengan novel sebelumnya. Kalau ada bahasa yang kurang enak mohon dimaklumi yaa, masih amatiran -__-

Okay. Let’s reading and enjoy this silly story!! XP


***

Ketika semuanya tak kembali sama seperti sedia kala, disinilah kita mulai merasa kehilangan. Ketika dulu ia masih bisa berbagi waktu dengan kita, tapi kita hanya menganggapnya desauan angin tak diundang, disinilah kita merasa ingin memutar kembali sang waktu dan menjaganya dalam dekap kasih. Dan ketika kini tiada lagi orang yang sama sepertinya, disinilah kita merasa seolah gravitasi menghianati kita.


***

@Bandara Soekarno Hatta, Jakarta.

Pemuda itu mondar-mandir sembari terus menengok ke arah arlojinya. Seolah diburu waktu. Sesekali ia duduk dan mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Tapi hatinya terlalu bergejolak hingga ia tak dapat menafsirkan apa arti kesabaran sebenarnya.

“Kak Gabriel?” sapa seseorang tepat dibelakangnya.

Pemuda itu berbalik. Menyusuri sumber suara itu. Ia mendesah, “Aren? Ngapain disini?” tanyanya kecut.

“Habis jemput papa dari Balikpapan. Kakak mau kemana?”

“Saya mau ke Surabaya. Nemuin teman-teman saya.”

Aren terbelalak sesaat, “Surabaya? Sampai kapan?”

“Sampai sidang skripsi saya dimulai.”

“Dua minggu lagi?”

Gabriel mengangguk. Ia menyambar kopernya dan segera masuk ke ruang boarding karena pesawat yang ia pesan sudah siap.

“Kak Gabriel!” panggil Aren saat Gabriel tepat diambang pintu.

Gabriel berbalik. Menatap juniornya itu dengan raut gusar.

“Hati-hati.” Ucap Aren sembari melambai.

“Makasih..” pemuda itu pun masuk. Meninggalkan hawa kesedian bagi Aren.


***

Wopoae Crew kini berpencar. Sibuk untuk menata kehidupan mereka dihari esok. Tata, cewek pintar dengan keramahan hatinya itu sibuk menekuni fakultas design gravis yang dipilihnya 4 tahun lalu. Ia masih bertempat tinggal di Surabaya bersama beberapa anggota Wopoae yang lain, yakni Devi, Linda, Rio, dan Kaito.

Devi, cewek berkacamata itu kini juga sibuk menekuni kegiatan jurnalistik di kampusnya. Keinginannya untuk menjadi seorang reporter yang bisa keliling dunia itu membuatnya tak pernah lelah untuk mendalami fakultas pilihannya.

Linda, cewek cerdas dengan ketangguhan yang luar biasa. Ia banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja dikantor ayahnya sendiri. Meski masih kuliah, ia tak pernah kesulitan untuk mengatur waktunya. Karena ia menjabat sebagai bendahara kedua, serasi dengan fakultas Akuntan yang dipilihnya.

Dinda, cewek pendiam dan banyak omongnya. Kini ia berkelana ke Jogjakarta, menimba ilmu pada Universitas paling tua seIndonesia. Dengan keberanian yang masih seujung jari itu ia mengambil fakultas sastra Inggris. Keinginannya yang pengen banget S2 di Amerika itu membuatnya tak pernah berhenti untuk merajut sang mimpi.

Rio, pemuda paling keren itu mengambil fakultas seni. Tepatnya seni musik. Baru-baru ini ia menciptakan lagu untuk kekasihnya, Tata, dengan lirik dan irama yang menyejukkan. Ia terobsesi dengan Jason Mraz, dan suatu saat ia ingin menjadi seorang musisi hebat seperti JM.

Iel a.k.a Gabriel. Pemuda paling cakep diantara mereka berdelapan. Sejak lulus SMA lalu, ia pindah ke Jakarta kembali. Menetap sekaligus bersekolah disana. Hubungannya dengan Dinda masih berjalan hingga menginjak semester ketujuh ini, meski gak semulus biasanya. Karena jarak diantara mereka membuat tabir penuh dengan keraguan. Ia mengambil fakultas ekonomi, sesuai dengan keinginan ayahnya.

Kaito, pemuda paling rame diantara mereka. Ia mengambil fakultas ekonomi, sama seperti Gabriel. Warung pangsit milik ayahnya kini mulai memiliki cabang hingga keluar Jawa. Pengambilan fakultas ekonomi baginya sangat cocok untuk membantu pekerjaan ayahnya mengatur keuangan.

Heiji, pemuda hitam manis yang cuek abis ini mengambil sekolah pelayaran. Karena itu, ia sering nonmaden alias berpindah-pindah. Komunikasinya dengan Linda masih berjalan dengan lancar. Kadang mereka tetap saja bertengkar tentang masalah sepele. Tapi, mereka tetap saling menjaga rasa dalam hati mereka masing-masing hingga udara pun tak dapat masuk untuk mengusiknya.

Tapi mereka, tetap mereka. Para perajut benang persahabatan. Perbedaan, jarak, dan waktu tak akan pernah merubahnya. Walau mereka tak dapat berkumpul seperti masa SMP dan SMA dulu, tapi mereka berusaha untuk saling menjaga kebersamaannya. Karena tiada  benang yang tak dapat putus, kawan.


***

Devi, Dinda, Tata, dan Linda duduk bersama diruang tunggu bandara Juanda. Mereka cukup tegang menanti kedatangan Iel. Terlebih lagi Dinda, gadis itu gelisah bukan main, harusnya pesawat Iel datang tepat 3 jam yang lalu.

Tak lama, Rio, Kaito, dan Heiji datang membawa kantong plastik berisikan makanan dan minuman.

“Ayoo, minum dulu yuk.” Ajak Heiji seraya membagikan fanta kaleng untuk kawan-kawannya.

Rio dengan gesitnya menyambar chitato dari kantong plastic ditangan Kaito.

“Buset, dari dulu lo kagak pernah berubah, Yo. Chitatoo mulu.” Protes Kaito.

“Suka-suka gue dong. Hidup, hidup gue. Masalah buat lo?” cibir Rio.

“Heeeh. Yang sekarang berubah itu kalian berdua. Inget gak, jaman SMP dulu? Kalian berdua itu kan saling menyayangi.” Kata Heiji gusar.

Devi, Dinda, Tata, dan Linda ketawa kompak. Rio dan Kaito salah tingkah. Memang, awal mereka bersahabat itu udah kayak ibu sama anak. Rio anaknya dan kaito ibunya. Konyol.

“Udah deh, Yo. Kamu itu udah gede masih kayak anak kecil aja.” Ujar Tata seraya meminum fantanya.

“Apa salahnya? Berubah menjadi anak kecil itu menyenangkan. Iya gak, Kai?” Rio merengkuh pundak Kaito.

“Benar!” jawab Kaito sembari membalas rengkuhan Rio.

“Ngomong opo..” gerutu Devi dan Linda. Tata melengos.

“Aduh. Pak lunglit ini kemana, sih? Lama ameeeet.” Celetuk Dinda yang gak sabaran.

“Kesasar ke Amrik kali.” Kata Rio jahil.

“Atau jangan-jangan dia kesini naek becak? Makanya kagak sampe-sampe.” Timpal Kaito.

“Gak usah didengerin, Din. Mereka rada gak ngeh.” Kata Linda.

“Sabar buu, perjalanan. Mungkin cuacanya gak mendukung penerbangan.” Tambah Devi.

“Bener. Kali aja ada kesalanan teknis. Sabar Din, pasti kalian ketemu kok.” Ujar Tata seraya menepuk-nepuk punggung Dinda.

Dinda terkekeh, “Apaan sih kalian. Emang ini bawaan kangen kali, haha.”

Tak lama kemudian.

“Permisi, mau Tanya mbak.. mas..”

Kompak, mereka bertujuh menoleh ke belakang. Tempat sumber suara itu datang. Dan Iel berdiri disana, dengan senyuman khasnya yang gak pernah berubah.

“Woy! Mas Iel reek..” Heiji, Rio, dan Kaito langsung memeluk Iel.

Cewek-cewek pada menjerit senang melihat kawannya itu datang. Rasanya, saat ini mereka pengen banget kembali ke masa-masa indah dulu. Tanpa beban, penuh angan.

“Berhenti, bro. kita beri kesempatan untuk pacarnya doong.” Kata Heiji. Rio dan Kaito pun melepas pelukannya untuk Iel.

“Assalamu alaikum. Aku kangen banget sama kamu, sapi pink.” Kata Iel. Bibirnya terlukis senyuman tipis.

“Wa’alaikumussalam. Aku gak kangen. Tapi kangeeen banget, pak lunglittt.” Dinda pun mencium punggung tangan Iel. Sebutir Kristal bening turut hadir dalam pertemuan mereka.

“Lho.. lho.. lho..” koor kawan-kawannya seolah menggoda.

“Gak usah nangis,” ucap Iel lembut seraya menyeka airmata di pipi Dinda.

“Jadi ngiri deh gue..” kata Rio spontan.

Oooppss. Tata mukanya langsung merah.

“Ayo pulang yuk. Yang cowok ke rumah gue, yang cewek ke rumahnya Linda.” Kata Kaito yang mulai berbenah diri.

“Oke. Oh iya, remember! Nanti malem kita wajib hang out bareng.” Ujar Linda.

“Waduh, kemana Lind?” Tanya Heiji.

“Gue bokek nih..” kata Kaito memelas.

Linda mendengus kesal, “Terus kita ngapain? Berdiam diri di rumah? Mencari jati diri? Berbagi pengalaman? Helloooow. Udah dua hari lalu kita gak ngapa-ngapain, Cuma nunggu Iel dateng, tapi gak dateng dateng..” protes gadis itu.

“Ya maap..” ucap Iel memelas.

“Ehm. Gimana kalau kita ngelakuin ritual kayak kelompencapir? Kayak yang dilakuin Kugy dkk itu lho. Kan asyik?” usul Dinda.

Tata dan Devi langsung angkat jempol, “Mantap cuiy!” puji mereka. Dinda tersenyum puas.

Heiji mengangguk. “Boleh. Dimana?”

“Ya dirumah gue dong.. gak baik kalau cewek yang ke rumah cowok malem-malem.” Kata Linda.

“Deal?” tawar Devi sekali lagi.

“Ok. Deal.” Jawab Iel, Heiji, Kaito, dan Rio kompak.


***

@Linda’s Home, 19.30 p.m.



“Eh Dind, posisi mejanya beneran kayak gini kan?” Tanya Linda.

“Bener kok. Tapi jangan sampai diatas meja ada apa-apanya. Karena bakalan diisi sama pizza. Oh iya Lind, Coffee latenya ada dimana ya?” jawab Dinda seraya mondar-mandir di dapur.

“Di lemari makan atas bagian tengah. Ada banyak kok.”

“Iya, udah ketemu nih. Thanks.”

“Mereka udah dateng!” seru Tata yang gak sengaja mengintip lewat jendela.

“Gue yang bukain pintu, deh..” kata Linda seraya berjalan ke teras rumah.

“Lindaa, ikuuut.” Devi mengekor dibelakangnya.

Tata menuju ke dapur, membantu Dinda membuat kopi.

Sampai diluar rumah, Linda dan Devi mempersilahkan keempat kawannya untuk masuk.

“Gue kangen kesini. Sejak kita berhenti naik anjemnya pak Daud, gue udah jarang lewat sini. Arah rumah kita berlawanan, Lind..” kata Heiji sembari menatap sekelilingnya.

Linda tersenyum sedih “Iya ya, dulu kan kita semua pernah naik anjem bareng.”

“Yang namanya kenangan, gak akan pernah habis kalau dibicarakan.” Celetuk Rio.

“Udah eh. Kenapa kita jadi galau begini sih? Inget tujuan utama! Have fun rek.” Kata Devi memperingatkan.

“Tau nih, gara-gara Heiji sih.” Protes Kaito.

“Kok gue?” bela Heiji pada dirinya sendiri.

“STOP.” Iel mencegah adu mulut antara Heiji dan Kaito.

“Silahkan masuk, kawan-kawaaaan..” kata Linda seraya berjalan duluan dengan Devi. Dan keempat anak itu pun ikut masuk dan duduk disekitar meja bundar yang sudah ditata rapi sebelumnya.

“Welcome, guys.” Kata Tata yang baru saja keluar dari dalam, disusul dengan Dinda yang membawa beberapa cangkir coffee late.

“Oh iya, ini pizza jumbonya.” Ujar Iel sembari meletakkan pizza diatas meja bundar.

“Udah siap semua? Gue matiin ya lampunya?” Devi pun memadamkan lampu ruang tamu. Dan tersisa cahaya lilin disekitar mereka.

“Wuih, keren.” Puji Rio.

“Oke guys. Kita mulai ritual ini.” Kata Dinda. Kedelapan orang itu duduk memutari meja. “Cara mainnya begini, pertama-tama gue akan bacain pertanyaan untuk kalian semua. Pertanyaan itu harus dijawab dengan sejujur-jujurnya. Biar diantara kita gak akan pernah ada rahasia. Yang jawabannya paling gokil atau paling bagus, akan diberi kesempatan untuk memberikan pertanyaan pada soal kedua. Gimana? Setuju?”

“Setuju!!”

“Baiklah. Pertanyaan pertama. Apa kenangan yang paling gak bisa dilupakan untuk kalian saat masa-masa SMP-SMA?”

Iel angkat tangan, “Pengalaman yang paling gak bisa gue lupain adalah saat gue sama dia saling mengikat janji satu sama lain. Disaksikan oleh para lampion, danau, dan malam.”

Dinda tersenyum hangat, “Kalau gue sih waktu gue mau pindah tapi gak jadi. Syukur banget itu.” Gadis itu terkekeh pelan.

Kaito angkat tangan. “Waktu ngerjain Cakka. Huahahaha.” Pemuda itu tergelak sendiri dalam tawanya.

Tata angkat tangan, “Waktu ketemu mbak Lisa sama mas Dayat. Untung waktu bis kita mogok ada mereka.”

Linda angkat tangan. “Waktu gue sama Heiji dikerjain sama Dinda Iel waktu tidur dipesawat. Sialan kalian, haha.”

Rio angkat tangan. “Saat kita semua pergi ke Jakarta dan gue dapet pic gitar dari Om Jason. Gila. Itu keren sekali.”

Devi angkat tangan. “Waktu awal jadian sama Kaito! Gara-gara time zone, uang kita habis dan belum nyadar juga saat kita udah selesai makan banyak di restoran. Untung aja ada Linda sama Heiji yang ngebayarin kita, hehehehe..”

Heiji angkat tangan. “Saat Edmund berusaha ngedapetin Linda. Sampai sekarang, gue belum bisa maafin ntu orang.” Ujar Heiji seraya menatap manik Linda. Linda tersenyum salah tingkah.

“Oke! Jawaban yang paling bagus adalah punyaaaaa………………… Kaito! Singka, padat, tapi gak jelas! Kepada saudara Kaito, waktu dan tempat kami persilahkan..” kata Dinda asal.

Kaito mengangguk hormat kepada kawan-kawannya. “Terimakasih. Terimakasih. Untuk pertanyaan gue adalah sekarang kalian semua lagi deket sama siapa? Sedekat apa? Sudah. Silahkan jawab.”

Rio mengangkat tangan, “Deket sama gitarku. Nothing a day without it.” Katanya lebay.

Devi angkat tangan, “Deket sama Irva. Temen sefakultas. Sedekat wartawan dengan kameramennya, hehe.”

Kaito angkat tangan, “Deket sama Keke. Anak kecil yang sering minta pangsit gratis sama otou-san..”

Heiji angkat tangan, “Temen-temen seangkatan. Gimana gak deket? Wong kita tinggalnya sekapal?!”

Tata angkat tangan, “Gue lagi deket sama kak Acie. Motivator terbaik disetiap gue membutuhkan inspirasi.”

Linda angkat tangan, “Deket sama mbak Zahra. Bendahara pertama, partner kerja gitu dah..”

Iel angkat tangan dengan ragu. Semua orang menatapnya curiga. “Gue lagi deket sama Junior gue, namanya Aren. Kita Cuma sebatas temen kok, dia sering Tanya-tanya materi sama gue. Dia juga anaknya temen papa..”

Entah mengapa, ada luka kecil yang terasa perih dihati Dinda. Tapi gadis itu berusaha untuk tak menggubris pernyataan Iel. “Kalau gue lagi deket sama anak-anak Sekolah Terbuka tempat gue ngajar di Jogja. Mereka itu bukan sekedar motivator, tapi juga sebagai penyemangat saat gue nyerah. Mereka semua adalah bidadari-bidadari surga yang diutus Allah buat nemenin gue.”

Mereka berdelapan bertepuk tangan serentak setelah jawaban terakhir terdengar. Itu tandanya, ritual gak jelas ini telah selesai.

Devi pun bergegas untuk menyalakan lampu. “Mari kita makan pizzanyaaa!!” serunya seraya berebut mengambil bagian pizza dengan kawan-kawannya.

“Kapan-kapan kita main beginian lagi, yuk.” Usul Tata.

“Bener itu! Tapi, pizzanya dibanyakin.” Sambar Kaito.

“Jangan pizza doang, chitato juga dooong..” kata Rio sembari melahap pizzanya.

“Huuuuu!!” koor semuanya seolah menyerang Rio. Kalau pake chitato mah yang makan Rio semuanya. Bisa-bisa yang lain gak dibolehin makan, lagi.

“Ta, kamu kan designer ya? Gambar aku lagi peluk chitato doong..” kata Rio sembari mendekati Tata.

Tata langsung mengernyit heran, “Gak ah, jelek.”

“Eh? Apanya yang jelek? Kita sama-sama cakep kok..”

“Pokoknya aku gak mau. Wlek.” Tata menjulurkan lidahnya, lalu ia pindah tempat dan duduk diantara Dinda dan Devi, menjauhi Rio yang autisnya lagi kumat.

“Yaelah, Yo. Lo gak tau aba-aba ya?” celetuk Heiji yang lagi membuka pintu rumah mencari udara segar.

Rio menggeleng, “Aba-aba apaan sih?”

Iel berbisik, “Sebenernya Tata itu cemburu kalo elo minta digambarin bareng chitato, bukan bareng sama dia. Gak peka amet sih luu.”

Rio manggut-manggut sambil tersenyum ke arah Tata. Membuat gadisnya lagi-lagi salah tingkah. “Jadi itu tanda-tandanya cewek cemburu, ya?” Rio balik berbisik pada Iel.

Iel mengangguk, “Benar sekali.”

“Heh pak lunglit! Jangan ajarin Rio macem-macem.” Ancam Dinda pada Iel.

Iel menyengir lebar “Tenaaang, bukan apa-apa kok..”

“Hoy! Mendung woy! Ayo pulang.” Kata Kaito yang sedaritadi diluar bersama Heiji.

“Yelah, cepet amet.” Gerutu Linda.

“Kita gak bawa jas hujan, ayo pulang Gab, Yo.” Ujar Heiji seraya mengambil jaketnya. “Oh iya Lind, thanks buat tempatnya. Nice dream ya.”

“Sama-sama, Ji. Hati-hati.”

“Kita pulang. Assalamu’alaikum!!” ucap Rio, Iel, dan Kaito kompak. Dan keempat cowok itu pun akhirnya pulang ke rumah Kaito.


***

Segelintir

Asa yang

Hambar, dapat menjadi sebuah

Angan berwarna

Bagai pelangi setelah badai

Acuhkan segala ketakutan untuk

Terus meraih mimpi tiada ujung..



Dedikasi untuk seluruh Wopoae Crew dan pembaca setia kami (Kelas IX-H).



To be continue……