Minggu, 17 Januari 2016

Petrichor (Cerita Bersambung)

Holaaaa manteman..
Udah lama gak pernah nulis cerita nih.. So, otak, tangan, imajinasi hampir aja karatan! Huhu..
Gue lagi bikin cerita baru nih, bukan fan fiction sih, but hope you'll like it ^--^
---

Petrichor - PART 1



Sebuah bangunan yang tampak kokoh dan megah. Bangunan tua yang telah berdiri lama setelah Indonesia merdeka. Bercatkan putih, bertingkat tinggi, dan berfasilitas lengkap. SMA Budi Utomo. Ya, itu namanya. Sekolah dengan sejuta cerita didalamnya. Sekolah bertaraf nasional yang membuat penduduk kota Jakarta berebut untuk mengambil kursi belajar didalamnya. Bahkan, yang berasal dari luar kota pun, berusaha untuk dapat menimba ilmu disana.

Sekolah ini juga memiliki asrama, dan seluruh siswa BU, begitu sebutannya, harus tinggal disana. Kau takkan pernah menyesal bisa bersekolah disini, termasuk Dira. Gadis cantik berambut indah itu.
Pagi ini cukup cerah. Dari atas sini, loteng tertinggi gedung SMA Budi Utomo, kau bisa merasakan betapa nikmat dan syahdunya rahmat Tuhan. Kau akan mendengar kicauan anak-anak burung gereja berterbangan menyamai tinggimu tanpa penghalang atap bangunan. Harum embun merengkuhmu, menyingkirkan penat. Angin pagi menggelitik nakal dikulitmu, membuatmu tersenyum manja pada Sang Pencipta.

“Ngapain lo disitu?”

Suara itu membuat gadis berkulit putih itu terperanjat. Ia memutar badannya untuk menemukan sumber suara lantang yang menyapanya, ah lebih tepatnya, membentaknya tadi. “Berdiri. Lo gak lihat?” jawab gadis itu datar.

“Songong. Anak baru aja belagu. Ini tempat gue, turun lo.”

Dira mengernyit heran, “Tempat lo? Gue udah lima hari berturut-turut maen kesini, dan gak pernah ada orang yang nongkrong. Terus sekarang, dengan tiba-tiba lo nyuruh gue turun? Gak kebalik, mas?”

Pemuda itu mendekat dengan wajah menakutkan, mungkin ia sedikit tersulut dengan kata-kata yang diucapkan Dira. “Emang gue kesininya waktu senja. Gue jarang kesini pagi.”

“Nah, gue rasa sekarang masih pagi. Mendingan lo nunggu sore dulu, baru kesini. Sekarang giliran gue.” Kata Dira seraya meninggalkan pemuda itu sambil mengibaskan rambut hitamnya.

“Gak bisa. Ini tempat gue. Lo itu murid baru, jadi lo gak berhak.”

Dira memercingkan mata, membalikkan badannya untuk kedua kalinya. “Emang lo berhak? Ini juga sekolah gue, sama-sama bayar, jadi lo gak boleh ngomong gitu.”

Pemuda itu mendekat, bibirnya tersenyum miring, bola matanya melirik nakal. Kini jarak Dira dan dirinya begitu dekat. Gadis itu berdegup hebat, ia takut akan apa yang terjadi pada dirinya. “Gue anak ketua yayasan disekolah ini. Gue udah mesen tempat ke Papa, untuk jadi markas gue. Dan gue pesen tempat ini. Kalau lo gak percaya, silahkan tanya ke seantero sekolah ini, siapa Galih Bagaskara yang sesungguhnya.” Kata pemuda itu sembari menunjuk dirinya sendiri.

Dira memucat seketika. Mata pelebur tembaga milik pemuda dihadapannya menghujam pandangannya dahsyat. Ia mulai menjadi kikuk, merendahkan sedikit tubuhnya. “Oke, sori. Gue salah.” Begitu ucap gadis itu sedikit gengsi. Dengan keadaan dongkol, ia berjalan menuju tangga untuk turun dari loteng ini.

“But we can make a deal..” ujar pemuda itu menghentikan langkah Dira. “Kita bisa memakai tempat ini berdua.”

Dira memutar bola matanya, menoleh pada pemuda yang mengaku bernama Galih tadi. “Berdua lo? Dih, ogah.”

Galih terkekeh pelan, “Hanya tawaran sih, kalo gak mau gapapa. Gue malah seneng karena bisa nikmatin pagi dan sore sendirian disini.” Ucapnya acuh seraya duduk pada sofa yang telah lapuk ditengah loteng. Memandang langit pagi sambil menengadahkan kepalanya.

Dira nampak menimbang-nimbang. Antara gengsi dan ingin. Sedikit mengutuk dirinya sendiri, mimpi apa semalam, bisa bertemu makhluk sebuas ini.

“Oke, gue setuju.” Ucap gadis itu lantang pada pemuda yang memunggunginya dibalik sofa.

Galih tersenyum puas, ia menang. “Bagus. Tapi, syaratnya lo harus diem dan gak boleh berisik. Ini adalah tempat kedamaian. Lo bebas bercengkrama dengan alam disini tanpa harus mengeluarkan suara.”

Dira membuat mukanya jelek, menghina Galih dari belakang.

“Gak usah ngejek gue. Kalau mau, sini, sekalian didepan gue, jangan dibelakang.”

Dira melebarkan matanya seketika. Tau darimana dia? Dia manusia atau bukan sih?

“Oke, silahkan masuk kelas ya nona cantik yang galak. Awas telat masuk. Selamat datang dirumah gue..” kata Galih seraya melambaikan tangan kanannya.

Dira manyun seketika, “Kalau bukan anaknya ketua yayasan, gue udah bunuh lo..” ujar gadis itu dan bergegas menuju tangga.

Galih tertawa geli. “Hati-hati  turunnya, Dira..”

Dira menegang kembali. Galih memanggil namanya, tau darimana? Tak ada tanda pengenal dalam balutan seragamnya. Ah, bodo amat. Paling juga penggemarnya yang sok kegantengan. Dengan cuek, gadis itu menuruni tangga menuju kelasnya.


Malam yang biasa kelabu itu kini tampak mencumbu. Kegelapan-kegelapan datang tak hanya untuk mengusik, tapi ia menemani. Redup sinar sabit nampak malu-malu hinggap dibadan awan yang gulita.

Galih tersenyum sendiri mengingat kejadian tadi. Gadis dengan rambut ikal yang dibuatnya marah kini tampak menarik hati. Mengingat muka galaknya tadi serasa ingin cepat-cepat bertemu pagi.

“Heh bro, cengar cengir sendiri. Kesambet lo.” Tepuk Daren pada bahu Galih.

Galih mengerjap, malu kepergok melamun. “Apaan sih, gue keinget kejadian tadi. Haha..”

“Wih.. Kejadian apa? Cerita dong cerita.”

Galih membenarkan posisi duduknya di sofa. “Gue udah ketemu sama adik lo.”

Mata Daren terbelalak lebar, “Serius? Nemu dimana?” tanya Daren antusias.

Galih mengernyit heran, “Nemu.. Nemu. Lu kira cendol.” Cibir Galih seraya meninju pelan lengan Daren. 
“Dia cantik, lucu, tapi sayang rada galak..”

Daren tertawa lepas. “Yang gue tau, Dira itu nyebelin, manja, sok cantik, sok cari perhatian. Itu yang bener. So, jangan kebius sama sikap sok cueknya dia.”

“Gue heran sama elu, Ren. Padahal dia adik lo. Kenapa dari dulu kagak pernah akur sih. Gue yakin dia orang baik. Gak seperti yang lo kira kok.”

Daren mendengus pelan, “Dia bukan adik gue. Dia anak selingkuhan Papa.”

Galih tertawa miris sembari menggelengkan kepalanya, “Terserah elu deh, Ren. Gue angkat tangan kalo masalah ini..”

Daren menatap Galih dalam diam. Ia sudah menganggap Galih seperti saudaranya sendiri, bukan sahabatnya lagi. “Maka dari itu, Lih. Gue butuh banget bantuan lo. Tolong jagain Dira ya. Ini adalah permintaan Papa yang paling gak bisa gue turutin. Gue benci banget sama cewek itu.”

Galih mengangguk seraya menepuk bahu Daren, “Gue bakal bantu, Ren. Tapi jangan nyesel kalo suatu saat nanti lo tahu begitu baiknya Dira.”


Kau pasti akan menginginkan kedamaian dalam cinta kasihNya. Tak peduli seberapa banyak bebanmu, tak peduli arti kesendirianmu, tak peduli riuhnya guruh, kau akan tetap bersenandung manja memujaNya. Dengan ciptaan-ciptaanNya yang begitu hebat, tatanan hidup yang sempurna, kau takkan pernah bosan bila melihatnya diatas sini.

Dira mengambil beberapa bidikan dari atas loteng. Matahari yang mulai muncul ke bumi, para pedagang yang mulai mengemas tokonya, anak-anak yang akan pergi sekolah, dan riuh gemuruh keramaian klakson kota Jakarta.

“Uhuk.” Galih berdeham, menghentikan kegiatan Dira.

“Apaan sih lo. Batuk-batuk gak jelas.” Cibir Dira seraya mulai melihat-lihat hasil jepretannya.

“Wih.. suka fotografi.” Decak Galih kagum seraya duduk disamping Dira. Menggantungkan kedua kakinya di udara. “Nih, ambil.” Ujarnya seraya menyodorkan sepotong sandwich.

Dira menerimanya dengan ragu.

“Tenang aja, gue gak ngapa-ngapain ntu sandwich. Gak usah takut.” Kata Galih yang mampu membaca gerak-gerik Dira.

“Jangan anggap gara-gara sandwich ini, gue bisa baik sama lo.” Ketus Dira seraya melahap sandwich ditangannya.

Galih terkekeh pelan, masih melahap sandwichnya. Angin pagi begitu dekat, sedekat nadi menjelajahi diri. Kibaran rambut pemuda itu mengusik hati, membuatnya terlihat lebih tampan dengan gigi gingsulnya yang kadang terlihat tanpa pernah memberi janji. “Gue rindu kampung halaman, makanya gue suka kesini..”

“Kampung halaman? Lo orang mana?” Dira bertanya dengan kening berkerut.

“Gue mah asli Pacet, Jawa Timur. Daerah yang indah. Ia dipeluk berbagai gunung, banyak tempat pariwisata disana, air terjunnya juga indah.. Tak banyak orang tau dimana tepatnya, itu yang membuatnya kurang terjamah. Tapi itu menguntungkan banget. Nuansa alaminya masih terasa.”

“Bukannya ketua yayasan itu asli Jakarta, ya? Dari jaman gue belum lahir sampai sekarang kan asli Jakarta.”
Galih tertawa terbahak-bahak. Bahkan ia hampir saja tersedak. “Masalah anak ketua yayasan, gue bohong. Itu Cuma gertakan aja sih sebenarnya, haha.”

“Diih. Lo nyebelin banget sih.” Ujar Dira sembari memukuli Galih dengan kedua telapak tangannya. “Dasar rese, tukang ngibul, sok-sokan..” caci Dira tak ada habisnya.

“Hahaha, ampuun ampuun. Gue gak maksud bohongin elu kok. Habisnya lo songong sih. Kalo gue kagak ikutan songong ya bakalan kalah..”

“Peduli amat gue. Turun lo! Turun sana giih..”

“Eit, peraturan tetap peraturan. Lo berjanji disaksikan alam lho.. Haha.”

Dira mencibir kesal, “Iya, iya. Huuh.”

Gadis itu beranjak dari duduknya menuju sofa. Disana, ia tidur menghadap angkasa.

Galih melihatnya,  bak siluet bidadari yang diceritakan surga. Begitu anggun dan indah. “Gue salut sama lo. Jarang lho, ada anak cewek yang ngelihat alam terbuka gini bisa bahagia.”

Dira tersenyum simpul. “Ada sebuah kejadian yang sangat berarti buat gue karena alam.” Ujar gadis itu sambil berusaha terbangun dari rebahnya. “Ehem, lo kenal Daren?”

Galih mengerjap seketika. Kenal,banget. “Daren kelas dua belas itu?”

Dira mengangguk, “Yap. Dia abang gue.. Dia yang pertama kali ngasih tau gue tentang megahnya alam.” ujar Dira seraya mendekat pada Galih. Kedua kakinya kembali tergantung diudara.

Galih mengernyit heran. Karena Daren? Bagaimana bisa? Dira tau gak sih, kalau si Daren benci banget sama dia? “Emang lu diapain sama abang lo itu?”

Dira mengikik, membekap mulutnya sendiri. “Karena.......”

 To Be Continued~

2 komentar: