Udah lama gak pernah nulis cerita nih.. So, otak, tangan, imajinasi hampir aja karatan! Huhu..
Gue lagi bikin cerita baru nih, bukan fan fiction sih, but hope you'll like it ^--^
---
Petrichor - PART 1
Sebuah bangunan yang tampak kokoh
dan megah. Bangunan tua yang telah berdiri lama setelah Indonesia merdeka.
Bercatkan putih, bertingkat tinggi, dan berfasilitas lengkap. SMA Budi Utomo.
Ya, itu namanya. Sekolah dengan sejuta cerita didalamnya. Sekolah bertaraf
nasional yang membuat penduduk kota Jakarta berebut untuk mengambil kursi
belajar didalamnya. Bahkan, yang berasal dari luar kota pun, berusaha untuk
dapat menimba ilmu disana.
Sekolah ini juga memiliki asrama,
dan seluruh siswa BU, begitu sebutannya, harus tinggal disana. Kau takkan
pernah menyesal bisa bersekolah disini, termasuk Dira. Gadis cantik berambut
indah itu.
Pagi ini cukup cerah. Dari atas
sini, loteng tertinggi gedung SMA Budi Utomo, kau bisa merasakan betapa nikmat
dan syahdunya rahmat Tuhan. Kau akan mendengar kicauan anak-anak burung gereja
berterbangan menyamai tinggimu tanpa penghalang atap bangunan. Harum embun
merengkuhmu, menyingkirkan penat. Angin pagi menggelitik nakal dikulitmu,
membuatmu tersenyum manja pada Sang Pencipta.
“Ngapain lo disitu?”
Suara itu membuat gadis berkulit
putih itu terperanjat. Ia memutar badannya untuk menemukan sumber suara lantang
yang menyapanya, ah lebih tepatnya, membentaknya tadi. “Berdiri. Lo gak lihat?”
jawab gadis itu datar.
“Songong. Anak baru aja belagu.
Ini tempat gue, turun lo.”
Dira mengernyit heran, “Tempat
lo? Gue udah lima hari berturut-turut maen kesini, dan gak pernah ada orang
yang nongkrong. Terus sekarang, dengan tiba-tiba lo nyuruh gue turun? Gak
kebalik, mas?”
Pemuda itu mendekat dengan wajah
menakutkan, mungkin ia sedikit tersulut dengan kata-kata yang diucapkan Dira.
“Emang gue kesininya waktu senja. Gue jarang kesini pagi.”
“Nah, gue rasa sekarang masih
pagi. Mendingan lo nunggu sore dulu, baru kesini. Sekarang giliran gue.” Kata
Dira seraya meninggalkan pemuda itu sambil mengibaskan rambut hitamnya.
“Gak bisa. Ini tempat gue. Lo itu
murid baru, jadi lo gak berhak.”
Dira memercingkan mata,
membalikkan badannya untuk kedua kalinya. “Emang lo berhak? Ini juga sekolah
gue, sama-sama bayar, jadi lo gak boleh ngomong gitu.”
Pemuda itu mendekat, bibirnya
tersenyum miring, bola matanya melirik nakal. Kini jarak Dira dan dirinya
begitu dekat. Gadis itu berdegup hebat, ia takut akan apa yang terjadi pada
dirinya. “Gue anak ketua yayasan disekolah ini. Gue udah mesen tempat ke Papa,
untuk jadi markas gue. Dan gue pesen tempat ini. Kalau lo gak percaya, silahkan
tanya ke seantero sekolah ini, siapa Galih Bagaskara yang sesungguhnya.” Kata
pemuda itu sembari menunjuk dirinya sendiri.
Dira memucat seketika. Mata
pelebur tembaga milik pemuda dihadapannya menghujam pandangannya dahsyat. Ia
mulai menjadi kikuk, merendahkan sedikit tubuhnya. “Oke, sori. Gue salah.” Begitu
ucap gadis itu sedikit gengsi. Dengan keadaan dongkol, ia berjalan menuju
tangga untuk turun dari loteng ini.
“But we can make a deal..” ujar
pemuda itu menghentikan langkah Dira. “Kita bisa memakai tempat ini berdua.”
Dira memutar bola matanya,
menoleh pada pemuda yang mengaku bernama Galih tadi. “Berdua lo? Dih, ogah.”
Galih terkekeh pelan, “Hanya
tawaran sih, kalo gak mau gapapa. Gue malah seneng karena bisa nikmatin pagi
dan sore sendirian disini.” Ucapnya acuh seraya duduk pada sofa yang telah
lapuk ditengah loteng. Memandang langit pagi sambil menengadahkan kepalanya.
Dira nampak menimbang-nimbang.
Antara gengsi dan ingin. Sedikit mengutuk dirinya sendiri, mimpi apa semalam,
bisa bertemu makhluk sebuas ini.
“Oke, gue setuju.” Ucap gadis itu
lantang pada pemuda yang memunggunginya dibalik sofa.
Galih tersenyum puas, ia menang.
“Bagus. Tapi, syaratnya lo harus diem dan gak boleh berisik. Ini adalah tempat
kedamaian. Lo bebas bercengkrama dengan alam disini tanpa harus mengeluarkan
suara.”
Dira membuat mukanya jelek,
menghina Galih dari belakang.
“Gak usah ngejek gue. Kalau mau,
sini, sekalian didepan gue, jangan dibelakang.”
Dira melebarkan matanya seketika. Tau darimana dia? Dia manusia atau bukan
sih?
“Oke, silahkan masuk kelas ya
nona cantik yang galak. Awas telat masuk. Selamat datang dirumah gue..” kata
Galih seraya melambaikan tangan kanannya.
Dira manyun seketika, “Kalau
bukan anaknya ketua yayasan, gue udah bunuh lo..” ujar gadis itu dan bergegas
menuju tangga.
Galih tertawa geli.
“Hati-hati turunnya, Dira..”
Dira
menegang kembali. Galih memanggil namanya, tau darimana? Tak ada tanda pengenal
dalam balutan seragamnya. Ah, bodo amat. Paling juga penggemarnya yang sok
kegantengan. Dengan cuek, gadis itu menuruni tangga menuju kelasnya.
Malam yang biasa kelabu itu kini
tampak mencumbu. Kegelapan-kegelapan datang tak hanya untuk mengusik, tapi ia
menemani. Redup sinar sabit nampak malu-malu hinggap dibadan awan yang gulita.
Galih tersenyum sendiri mengingat
kejadian tadi. Gadis dengan rambut ikal yang dibuatnya marah kini tampak
menarik hati. Mengingat muka galaknya tadi serasa ingin cepat-cepat bertemu
pagi.
“Heh bro, cengar cengir sendiri.
Kesambet lo.” Tepuk Daren pada bahu Galih.
Galih mengerjap, malu kepergok
melamun. “Apaan sih, gue keinget kejadian tadi. Haha..”
“Wih.. Kejadian apa? Cerita dong
cerita.”
Galih membenarkan posisi duduknya
di sofa. “Gue udah ketemu sama adik lo.”
Mata Daren terbelalak lebar,
“Serius? Nemu dimana?” tanya Daren antusias.
Galih mengernyit heran, “Nemu..
Nemu. Lu kira cendol.” Cibir Galih seraya meninju pelan lengan Daren.
“Dia
cantik, lucu, tapi sayang rada galak..”
Daren tertawa lepas. “Yang gue
tau, Dira itu nyebelin, manja, sok cantik, sok cari perhatian. Itu yang bener.
So, jangan kebius sama sikap sok cueknya dia.”
“Gue heran sama elu, Ren. Padahal
dia adik lo. Kenapa dari dulu kagak pernah akur sih. Gue yakin dia orang baik.
Gak seperti yang lo kira kok.”
Daren mendengus pelan, “Dia bukan
adik gue. Dia anak selingkuhan Papa.”
Galih tertawa miris sembari
menggelengkan kepalanya, “Terserah elu deh, Ren. Gue angkat tangan kalo masalah
ini..”
Daren menatap Galih dalam diam.
Ia sudah menganggap Galih seperti saudaranya sendiri, bukan sahabatnya lagi.
“Maka dari itu, Lih. Gue butuh banget bantuan lo. Tolong jagain Dira ya. Ini
adalah permintaan Papa yang paling gak bisa gue turutin. Gue benci banget sama
cewek itu.”
Galih
mengangguk seraya menepuk bahu Daren, “Gue bakal bantu, Ren. Tapi jangan nyesel
kalo suatu saat nanti lo tahu begitu baiknya Dira.”
Kau pasti akan menginginkan
kedamaian dalam cinta kasihNya. Tak peduli seberapa banyak bebanmu, tak peduli
arti kesendirianmu, tak peduli riuhnya guruh, kau akan tetap bersenandung manja
memujaNya. Dengan ciptaan-ciptaanNya yang begitu hebat, tatanan hidup yang sempurna,
kau takkan pernah bosan bila melihatnya diatas sini.
Dira mengambil beberapa bidikan
dari atas loteng. Matahari yang mulai muncul ke bumi, para pedagang yang mulai
mengemas tokonya, anak-anak yang akan pergi sekolah, dan riuh gemuruh keramaian
klakson kota Jakarta.
“Uhuk.” Galih berdeham,
menghentikan kegiatan Dira.
“Apaan sih lo. Batuk-batuk gak
jelas.” Cibir Dira seraya mulai melihat-lihat hasil jepretannya.
“Wih.. suka fotografi.” Decak
Galih kagum seraya duduk disamping Dira. Menggantungkan kedua kakinya di udara.
“Nih, ambil.” Ujarnya seraya menyodorkan sepotong sandwich.
Dira menerimanya dengan ragu.
“Tenang aja, gue gak
ngapa-ngapain ntu sandwich. Gak usah takut.” Kata Galih yang mampu membaca
gerak-gerik Dira.
“Jangan anggap gara-gara sandwich
ini, gue bisa baik sama lo.” Ketus Dira seraya melahap sandwich ditangannya.
Galih terkekeh pelan, masih
melahap sandwichnya. Angin pagi begitu dekat, sedekat nadi menjelajahi diri.
Kibaran rambut pemuda itu mengusik hati, membuatnya terlihat lebih tampan
dengan gigi gingsulnya yang kadang terlihat tanpa pernah memberi janji. “Gue
rindu kampung halaman, makanya gue suka kesini..”
“Kampung halaman? Lo orang mana?”
Dira bertanya dengan kening berkerut.
“Gue mah asli Pacet, Jawa Timur.
Daerah yang indah. Ia dipeluk berbagai gunung, banyak tempat pariwisata disana,
air terjunnya juga indah.. Tak banyak orang tau dimana tepatnya, itu yang
membuatnya kurang terjamah. Tapi itu menguntungkan banget. Nuansa alaminya
masih terasa.”
“Bukannya ketua yayasan itu asli
Jakarta, ya? Dari jaman gue belum lahir sampai sekarang kan asli Jakarta.”
Galih tertawa terbahak-bahak.
Bahkan ia hampir saja tersedak. “Masalah anak ketua yayasan, gue bohong. Itu
Cuma gertakan aja sih sebenarnya, haha.”
“Diih. Lo nyebelin banget sih.” Ujar
Dira sembari memukuli Galih dengan kedua telapak tangannya. “Dasar rese, tukang
ngibul, sok-sokan..” caci Dira tak ada habisnya.
“Hahaha, ampuun ampuun. Gue gak
maksud bohongin elu kok. Habisnya lo songong sih. Kalo gue kagak ikutan songong
ya bakalan kalah..”
“Peduli amat gue. Turun lo! Turun
sana giih..”
“Eit, peraturan tetap peraturan.
Lo berjanji disaksikan alam lho.. Haha.”
Dira mencibir kesal, “Iya, iya.
Huuh.”
Gadis itu beranjak dari duduknya
menuju sofa. Disana, ia tidur menghadap angkasa.
Galih melihatnya, bak siluet bidadari yang diceritakan surga.
Begitu anggun dan indah. “Gue salut sama lo. Jarang lho, ada anak cewek yang
ngelihat alam terbuka gini bisa bahagia.”
Dira tersenyum simpul. “Ada
sebuah kejadian yang sangat berarti buat gue karena alam.” Ujar gadis itu
sambil berusaha terbangun dari rebahnya. “Ehem, lo kenal Daren?”
Galih mengerjap seketika. Kenal,banget. “Daren kelas dua belas
itu?”
Dira mengangguk, “Yap. Dia abang
gue.. Dia yang pertama kali ngasih tau gue tentang megahnya alam.” ujar Dira
seraya mendekat pada Galih. Kedua kakinya kembali tergantung diudara.
Galih mengernyit heran. Karena Daren? Bagaimana bisa? Dira tau gak
sih, kalau si Daren benci banget sama dia? “Emang lu diapain sama abang lo
itu?”
Dira mengikik, membekap mulutnya
sendiri. “Karena.......”
To Be Continued~
hm... XD [?]
BalasHapusHahahaha. Tata .____.
Hapus