Sabtu, 20 Agustus 2016

Petrichor (Cerita Bersambung)

PART 3

.
.



Setelah membasuh mukanya, Dira langsung berjalan menuju kelasnya. Langkah kakinya tak sejalan dengan keinginan hatinya. Ingin sekali rasanya gadis itu bolos dari jam pelajaran sekolah pagi ini.

Kelas Dira terletak dikoridor paling ujung lantai satu. Kelas yang cukup luas untuk sekedar menampung murid sejumlah tiga puluh satu. Kelas yang bercatkan putih itu nampak asri dengan tanaman-tanaman hias didepannya, terutama bunga mawar dan melati yang tumbuh rindang sekali. Saat Dira masuk ke dalamnya, dua orang lelaki yang duduk di kursinya sontak berdiri mempersilahkan.

“Kura-kura kecemplung kali, hai Dira selamat pagii..” goda cowok berambut ikal dengan lesung pipit dikedua pipinya.

Dira tersenyum seketika, “Pagi juga Sandi..”

“Aseekk.. Cakep banget dah elu.”

Cowok berambut jabrik menoyor kepala cowok bernama Sandi tadi, “Lu tau aja yang bening-bening. Tau gitu mata lu gua lakban tadi pagi.”

“Lu bilang gitu karena lu iri kan sama gua? Lu gak pernah dapet ucapan selamat pagi dari Dira, kan? Jangankan selamat pagi, sms lo aja kagak pernah dibales kan? Hahahaha..” Sandi terpingkal.

Muka pemuda jabrik itu sontak memerah sembari mengelus-elus rambutnya.

Dira mengernyit seketika seraya duduk pada kursinya, “Jadi selama ini yang neror gue itu lo, Ka?” terka Dira seketika.

Pemuda bernama Raka itu mengibaskan tangannya, “Gue gak neror kok, Cuma mau kenalan aja.”

Sandi menepuk bahu Raka, “Hey Ka. Sebelum lo kenalan sama cewek, tolong bedain teks yang isinya minta kenalan sama broadcast di line. Lo kenalan atau iklan??”

Dira terkekeh lebih keras, “Tau nih, Raka. Pake sms mama minta pulsa pula, hmm.”

Muka Raka merah padam, “Tolong jangan bully gue, please.” Ucapnya dengan muka centil.

Sandi pura-pura ingin muntah. Dira melengos.

“Apaan sih lu berdua ganggu banget. Pergi sana..” tiba-tiba saja teman sebangku Dira muncul seraya memukuli Sandi dan Raka dengan penggaris plastik.

“Ubur-ubur temennya bandeng. Yuk kabur, satpamnya dateng.” Kata Sandi seraya menarik Raka dan berlari meninggalkan bangku Dira.

Dira tergelak melihat tingkah kedua teman sekelasnya tadi. Setelah tawanya mereda, gadis itu melirik kawannya yang baru saja mengusir Sandi dan Raka.

“Lo habis nangis ya?” terka gadis berambut kemerahan itu pada Dira.

Dira tersenyum kecut kehabisan alasan, “Lo tau aja, Ta.”

Nata tersenyum miris. “Itu kejadian udah kemarin, Ra. Kenapa masih lo inget-inget, sih..”

Dira tersenyum datar, “Iya, sorry. Biasa, gue kan tipe cewek yang gagal move on, hehe..”

“Jijik banget lo..” kata Nata seraya mengacak rambut Dira. “Udah, Ra. Lo harus lebih kuat dari ini, baru digituin aja udah lembek. Lo kudu strong. Wajib. Kalo lo kuat, semua cacian dari orang lain akan jadi angin yang hilang dalam sesaat.”

“Thanks ya Ta. Lo pengertian banget..” ujar Dira seraya memeluk sahabatnya itu.

“Iya sama-sama. Be brave ya honey.. Oh iya, Kak Galih gimana?”

Dira langsung melepas pelukan Nata. “Gimana maksud lo?”

“Yaa.. Lo masih ketemu sama dia kan?”

Dira mengangguk, “Sure.” Ucap Dira menggantung, matanya melirik aneh pada Nata.

Nata nyengir kuda seraya mengeluarkan buku fisika dari dalam lokernya. “Ya syukur deh. Setidaknya dia bisa jadi pengganti abang lo..”

Mulut Dira membentuk vokal o tanpa suara sembari mengangguk-angguk. Kemudian gadis itu tersenyum. Cukup singkat. Tiba-tiba terlintas raut muka Galih yang menenangkannya tadi.

-
-

Saat istirahat jam pertama, Daren bermain gitar didekat koridor paling ujung lantai dua SMA Budi Utomo. Pemuda itu sukar sekali lepas dengan gitarnya. Terkadang irama yang dipetiknya terdengar sayu, kadang terdengar riuh. Sampai akhirnya, ia terhenti kala dua pasang kaki berhenti tepat dihadapannya.

“Ngapain lo?” ujarnya sembari melirik sekilas orang itu.

“Lo apain Dira?”

Daren mendengus. Ia tersenyum sinis seperti biasanya. “Jadi dia ngadu sama elo? Bagus deh..”

Galih duduk menghadap Daren. “Jangan langsung menilai orang lain seenak jidat lo. Dira gak cerita apapun ke gue. Tapi tadi pagi dia nangis, dia nangis kenceng banget diloteng. Gue paksa ngaku, tapi dia gak mau jawab pertanyaan gue. Dan gue yakin, tangisan Dira tadi bukan tangisan seorang anak manja yang lagi kangen sama orang tuanya. Itu tangisan sakit hati, Ren.” Kata Galih lantang, membuat Daren seketika menciut. “Lo tau apa yang lebih sakit daripada sebuah pukulan? Itulah kata-kata. Jaga omongan lo. Apalagi sama cewek kalo lo gak mau dibilang banci..”

“Eit, dah. Kok lo yang jadi marah-marah ke gue?”

Galih mendengus kesal. “Gue ngelakuin apa yang seharusnya gue lakuin. Gue ngejaga Dira. So, no ones can’t hurt her include you.”

Dan Galih pergi begitu saja tanpa meminta penjelasan apapun.

Daren masih tercengang. Ia terkejut dengan kejadian apa yang baru saja terjadi padanya. Namun tiba-tiba, senyuman manis yang muncul dari bibir tipisnya kembali mengembang. Ia menunduk perlahan, memainkan gitarnya kembali.

Karena kau tak mengerti bagaimana cara ia mengukir luka itu. Begitu kuat dan tak kan pudar oleh waktu. Kau bilang kau orang yang paling mengertiku, tapi tidak. Kau belum begitu dalam menyelami darah-darah masa laluku. Terserah kau berkata apa, kau caciku bagaimanapun pahitnya. Namun luka tetaplah luka. Walaupun ia sembuh, namun bekasnya masih ada.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara langkah kaki mendekat. Daren menghentikan permainan gitarnya. Ia menoleh pada dua pasang kaki dihadapannya. Kemudian menengadahkan pandangannya.

“Papa?”

Lelaki paruh baya itu tersenyum hangat. Lalu mengusap kepala Daren.

-
-

Pemuda itu, mau tak mau, harus berjalan mengelilingi lantai satu. Ia tak pernah bertanya soal kelas yang dihuni adiknya. IPA atau IPS, ia bahkan tidak tahu menahu soal hal itu. Setiap kelas, dimasukinya, ia bertanya pada gadis-gadis yang terus menerus berteriak memanggil namanya. Setelah gadis-gadis centil itu tahu siapa yang dicari oleh sang pemuda, mereka menjawab “Tak tahu.” Dengan muka yang sedikit tertekuk.
Daren mengangkat bahunya cuek.

Dan pada akhirnya, tersisa kelas dikoridor paling ujung. Kelas dengan taman bunga dihadapannya. MIA-5.

Pemuda itu menemukan titik fokusnya di dalam kelas. Kelas yang awalnya gaduh, mendadak menjadi hening kala Daren memanggil nama Dira.

Gadis yang namanya dipanggil tadi sedikit tak percaya tentang apa yang telah didengarnya. Daren memanggilnya? Itu mustahil. Kemudian, gadis itu tak mengusik kehadiran Daren yang berdiri didepan pintu. Daren tak mungkin memanggilnya, begitu tegas Dira dalam hati.

Daren berjalan memasuki kelas. Suara pekikan dari gadis-gadis belia mulai didengarkannya. Daren adalah seorang idola di Budi Utomo, jadi tak heran begitu banyak gadis yang memujanya.

“Ikut gue.” Kata Daren tegas ketika sampai didepan bangku Dira.

Dira perlahan mendongak. Ia mengernyit heran, “Aku?”

Dengan cepat, Daren menggenggam tangan Dira dan menarik gadis itu keluar kelas. Suara gemuruh mulai terdengar diseantero jalan yang mereka lalui. “Yang cakep jelas lebih milih yang cantik..” “Sumpah mereka cocok banget..” “Si Dira main tikung aja..” “Hancur harapan gue..” “Udah ah, lu mah sama kambing aja..” “Dasar cewek genit, ke laut aja lu mah..”

“Bang, kita kemana?” Dira selalu berusaha bertanya pada Daren. Tapi sayang, pemuda itu tak pernah menjawab. Ia tetap menggenggam tangan adiknya sembari terus melangkah. Langkah kakinya yang panjang membuat gadis itu berlari kecil, mencoba menyelaraskannya.

Saat hendak keluar dari sekolah, Galih menatap keduanya, dan juga genggaman tangan itu. Entah perasaan apa yang menggelitik hatinya, ia tak menyukainya. Dira menyadari ada Galih disana. Gadis itu menarik seulas senyum pada bibirnya untuk pemuda itu dan Galih membalasnya dengan ragu.

Daren membawa Dira menuju ruang tamu asrama. Dira tetap saja bertanya, “Kita mau kema---?”

“Sayang..”

Gadis itu menoleh pada sumber suara tadi. Ia melihat seorang lelaki paruh baya dihadapannya. Ada kumis tipis diatas bibirnya yang merah itu. Lelaki berperawakan tegap, tinggi, dan gagah itu mengangkat kedua tangannya. Berharap gadis itu memeluknya.

“Papa..” Dira melepas tangan Daren dan berlari menuju Papanya. Ia memeluk Papa dengan sangat erat.

“Papa rindu, sayang. Gimana kabarmu?” Papa mencium kening Dira setelah gadis itu tak lagi dalam dekapnya.

“Baik, Pa..”

“Daren selalu jaga kamu, kan?”

Hati Dira mencelos seketika. Perlahan, ia menatap Daren dengan ragu.

Daren menggigit bibir bawahnya. Harap-harap cemas dengan jawaban Dira nanti.

Dira menatap mata Papanya kembali, dengan hiasan senyum diwajah manisnya. “He always keeped me. Dia menjalankan tugasnya dengan baik, Pa..”

Papa ikut mengukir senyum, “Bagus deh kalau gitu. Karena kalian berdua adalah saudara, jadi harus akur ya..”

Dira tercekat seraya mengangguk. Daren tersenyum miris.

“Yaudah, Papa pamit dulu.”

“Kok buru-buru Pa? Kita baru ketemu lho..” sergah Daren.

Papa terkekeh pelan, “Papa ada proyek di Jakarta. Mau ke lokasi kok lewat sekolah kalian, jadinya mampir sebentar.” Ujar Papa seraya membereskan barang bawaannya. 

Dira dengan sigap membawakan tas Papa. “Yaudah, kalian hati-hati ya.. Papa pulang dulu.” Kata Papa seraya mengecup puncak kepala Dira. Lalu memeluk Daren.

Kemudian, Daren dan Dira mengantarkan Papa mereka sampai ke mobil. Disana ada Pak Mul, sopir pribadi Papa yang menyapa mereka dengan hangat.

Dira memberikan tas Papanya sembari mencium punggung tangan beliau. Begitu juga Daren.

“Papa pamit.” Kata Papa sembari menutup pintu mobil.

“Hati-hati, Pa.” Kata Daren.

“Sukses proyeknya yaa Papaku..” tambah Dira.

“Makasih sayang, Assalamu’alaikum..”

“Wa’alaikum salam.

Dan mobil sedan hitam milik Papa meninggalkan kawasan sekolah dengan dentuman khasnya.

Dira membuang nafas. Ia merasa tak bebas menghirup udara saat berada disekitar Papa tadi. Lalu gadis itu menoleh pada sosok tampan disampingnya. “Ayo ke kelas, Bang..”

Daren menatap mata Dira dengan tajam. “Gak usah sok deket sama gue. Sampai kapanpun, gue gak akan pernah nganggap lo ada.” Ucap Daren pedas seraya meninggalkan Dira diparkiran.

Gadis cantik itu merasakan sesak lagi. Sesak yang memilukan hati. Dengan terpaksa, ia mengukir senyum pada bibirnya yang merah jambu itu. Mencoba untuk lebih tegar lagi. Karena ia yakin, setiap usaha memerlukan waktu.

-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar