Geje ah~ Geje~ --"
Tangannya udah karatan (/_\)
Tangan itu masih tetap bermain lincah diatas tuts-tuts
keyboard. Menciptakan huruf demi huruf, kata demi kata, bahkan kalimat demi
kalimat. Pandangannya tak berhenti menatap layar monitor, lalu keyboard.
Monitor, kemudian keyboard lagi. Monitor, keyboard, dan akhirnya ia menatap jam
tangan disebelah kirinya. Jam satu lebih lima belas menit, dini hari.
Sejenak, ia berhenti bergerak. Mengambil nafas begitu dalam,
seolah ia sedang menagih hutang alam atas udara yang tak sempat ia hirup secara
normal seharian ini. Ia menyematkan poni yang sudah terlalu panjang ke telinga
kirinya, kemudian mendesah kecil. “Ayah, aku sedang berjuang. Doakan aku..”
ucapnya dalam hati.
Kemudian, ia bergegas menyimpan file yang baru saja ia ketik,
dan segera mematikan laptopnya. Dengan gerakan cepat, ia menata kembali tempat
tidurnya yang penuh dengan bungkus makanan kering dan kaleng-kaleng soda.
Membuangnya ke tong sampah, lalu bergegas ke kamar mandi untuk sekedar mencuci
tangan dan kakinya. Ia tak mau menyikat gigi, karena pekerjaan itu adalah
pekerjaan yang membuang-buang waktu saja, baginya. Tak lama, ia telah terbalut
dengan selimut hangat dibadannya. Merasakan bahwa dirinya telah terbang ke alam
yang berbeda.
“Saya mengambil tema Ayah, karena dibalik jerih payah saya,
Beliau turut hadir memberikan percikan-percikan semangat dalam diri saya.
Beliau bukan hanya seorang Ayah, tapi juga seorang malaikat yang tak pernah
lelah berdoa pada Tuhan untuk saya. Hanya demi saya dan kesuksesan saya. Tanpa
mempedulikan bagaimana keadaan Beliau yang semakin ringkih.”
“Seperti apa dia? Mengapa begitu spesial dimatamu?” Tanya
salah satu dosen dalam sidang itu.
Ia tersenyum,
“Entahlah, mungkin ini persembahan terakhir saya untuk Ayah. Saya sedang merindukannya.”
Ruangan itu mendadak terpenuhi oleh ribuan tepuk tangan.
Jiwanya sedikit bergetar, apakah ini tanda siding skripsi ini sukses? Ah, masa
bodoh. Setidaknya, ia merasa telah berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan
dosen dengan lancar.
“Selamat Chana, kamu luar biasa sekali! Sukses yaa..” ucap Ibu
Mike, dosen Fakultas Ilmu Sosial, seraya memeluk Chan.
Chan balas memeluknya, tak ada kata yang lebih indah yang
perlu ia dengar saat ini kecuali kata ‘Selamat’. Itu pertanda bahwa sidangnya
memang benar-benar sukses.
“Terimakasih, Bu.”
Chana Danastri, begitulah namanya. Dengan singkat, kalian bisa
memanggilnya Chan. Gadis cantik berkulit kuning langsat dengan rambut panjang
bergelombang ini telah lama merantau ke Ibu Kota untuk mendapatkan gelar
Sarjana. Meninggalkan seorang Ayah yang dulu sangat ia benci. Tapi kini, ia
sadar bahwa ia sangat mencintai Ayahnya.
Dulu, ketika ia masih duduk dibangku Sekolah Dasar kelas 2,
gadis itu melihat pertikaian antara Ayah dan Ibunya. Ayahnya dengan tenaga seorang
tentara membanting tubuh Ibunya yang kecil itu pada dinding ruang tamu rumah
mereka. Ibu Chan menjerit seketika, merasakan sakit yang luar biasa. Sedangkan
Chan yang berada dibalik pintu kamarnya ikut memekik tanpa kata.
“Keluar dari rumah ini!” ujar sang Ayah lantang.
“Tidak. Aku akan tetap disini. Menunggu kebenaran itu
datang..”
“Persetan dengan kebenaran. Pergi! Aku muak dengan mukamu!
Biar aku yang merawat Chana! Pergi!” dengan kekuatannya yang begitu dahsyat,
akhirnya sang Ibu berhasil keluar dari rumah. “Pergi dan jangan pernah
kembali!” itu ucap sang Ayah untuk yang terakhir kalinya pada Ibu Chan.
Chan tak tahan lagi, ia pun lari keluar kamar dan meneriakkan
nama Ibunya. Ia menangis hebat melihat punggung Ibunya yang perlahan menjauh
dari rumah. Kemudian, tangan kekar memeluk dirinya dari belakang. Menahan Chan
yang akan keluar rumah.
“Aku benci Ayah. Aku berjanji akan membenci Ayah seumur hidup
sebelum Ayah membawa Ibu kembali ke rumah!” teriak Chan memberontak.
Sang Ayah tak menggubris perkataannya. Ia tetap menahan tubuh
Chan, sedangkan gadis kecil itu berusaha melakukan berbagai cara yang sekiranya
membuat Ayahnya kesakitan dan membiarkannya lepas dari dekapannya. Tapi tetap
saja tak berhasil, justru kekuatan Chanlah yang semakin melemah.
Chan merasakan kelelahan yang luar biasa sehabis menangis dan
melakukan pemberontakan kecil terhadap Ayahnya. Gadis itu pun akhirnya
terlelap.
Sang Ayah menggendongnya ke tempat tidur. Sebelum pergi
meninggalkan kamar Chan, Sang Ayah mengatakan sesuatu, “Suatu saat, kau akan
tahu, nak, alasanku mengusir Ibumu..”
Sejak saat itu, Chan membenci Ayahnya. Ia bahkan rela berkata
pada kawan-kawannya bahwa ia tak memiliki ayah maupun ibu. Ia mengaku yatim
piatu pada semua orang.
Saat Ayahnya memasakkan beberapa makanan untuknya, Chan tak
pernah menghargainya sedikitpun. Bahkan dengan tega, ia berkata, “Ehm, masakan
apa ini? Gak enak. Andaikan Ibu masih ada, mungkin aku akan makan enak terus..”
Sang Ayah hanya terdiam. Ia tak memiliki hak untuk marah
apalagi menampar Chan. Ini semua memang salahnya yang pernah mengusir Ibu Chan
dengan cara yang kejam.
Begitulah beberapa tahun kehidupan Chan yang begitu pahit.
Hingga lulus SMA, Chan pergi tanpa pamit pada Ayahnya saat ia mengetahui bahwa
ia lolos seleksi masuk ke Perguruan Tinggi ternama di Jakarta. Chan berharap,
dengan meninggalkan Ayahnya, ia dapat membalaskan dendam Ibunya. Dan mulai saat
itu, Chan tak pernah menghubungi Ayahnya. Ia menghapus nama Ayahnya dari
kehidupannya. Ia benar-benar membenci Ayahnya.
Sampai suatu saat, di semester ke tujuh, ia menerima telpon
dari nomor yang tidak dikenal. Dengan gugup, Chan mengangkatnya.
Terdengar suara sayup disana, berharap agar sang anak mau
pulang walau sejenak ke kampung halamannya. Chan menangis, begitu merindukan
suara indah itu. Ibunya.
Tak perlu berpikir panjang. Saat itu juga, Chan mengurus semua
kepulangannya dengan cepat. Rekan-rekannya sempat shock dengan kepergian Chan
yang mendadak itu, tapi Chan berjanji akan kembali secepatnya.
Sampailah gadis itu didepan gang yang dulu pernah menjadi
kenangan baginya. Ia menatap nanar pohon beringin disamping jalanan yang
posisinya masih sama seperti dulu, sebelum ia meninggalkan desa itu. Hatinya
menangis seketika melihat rumah mungil dengan halaman yang luas diujung gang
itu dipenuhi oleh kendaraan dan orang-orang yang saling berdesakan untuk masuk
kedalamnya. Hatinya bergeming seketika, ada apa?
Chan mempercepat langkah kakinya untuk segera memasuki rumah
itu. Saat hendak melewati pintu, lengan Chan tertahan oleh sebuah tangan yang
lembut. Yang ia rindukan belasan tahun lalu.
“Ibu?” Chan langsung memeluknya, merasakan wangi tubuh yang
member ketenangan itu.
“Maaf, Chan. Ibu baru saja kembali.” Ucap sang Ibu sambil
menyeka air mata dipipi Chan. “Ibu merindukanmu..”
“Aku juga, Bu.” Chan tersenyum senang sekali, melihat
bidadarinya kembali. Chan terkesiap, baru saja tersadar dengan keramaian
rumahnya. “Ada apa, Bu? Kok ramai sekali?”
Sang Ibu hanya terdiam, kemudian memandang Chan dalam. “Ayah
meninggal, sayang..”
Chan melebarkan kedua matanya, cukup sebentar. “Bukankah ia
sudah lama mati, Bu?”
“Shhh. Kasar banget kamu ngomongnya. Dia ayahmu.”
Chan tersenyum kecut, “Masih pantas dia disebut ayah? Setelah
dia mengusir Ibu seperti binatang?”
Sang Ibu tak habis pikir dengan perkataan Chan. Tapi ia baru
sadar akan sesuatu, bahwa ia belum memberi tahu Chan tentang apa yang terjadi
sebenarnya. Rahasia besar ayahnya. “Ikut ibu sebentar.”
Sang Ibu membawa Chan kedalam kamar.
“Tak seharusnya kamu membenci ayah, Chan.” Itulah kalimat
pertama yang dilontarkan oleh Ibunya. “Jadi, ayah belum cerita apapun padamu?”
Chan menggeleng. “Tidak. Tidak sama sekali. Kami bahkan tak
pernah berbicara satu sama lain.”
“Oh, Tuhan..”
Chan mengernyit heran. “Ada apa sih, Bu?” ia mulai tak sabar
menunggu penjelasan Ibunya.
“Kenyataannya selama ini, ayah tak pernah mengusir ibu. Dan
ayah tak pernah salah sama sekali.” Ibu mengunci pandangannya pada foto ayah
diatas meja. Seolah ia benar-benar sedang menatap ayah. “Ayahmu mengusir ibu
karena satu hal. Ia berusaha mengurangi beban ibu, sayang. Kau tahu Socrates?”
Chan mengangguk. “Filsuf Yunani yang memilih untuk minum racun
demi mempertahankan kebenaran itu?”
“Yap. Dia seperti sosok ayahmu. Dulu, saat ia masih menjabat
di TNI AL, ia selalu mencari-cari orang yang tidak percaya terhadap Tuhan.
Selalu bertanya pada mereka tanpa memberikan jawaban. Sampai akhirnya, mereka
mengerti jawaban itu sendiri. Gara-gara itu, ayahmu dipecat oleh atasannya. Ia
menganggap ayahmu sebagai lalat pengganggu. Kebiasaan ayahmu itu masih
berlanjut. Ia menghabiskan waktunya hanya untuk menanyai warga tentang siapa
Tuhan itu. Ia jarang sekali berdiam diri dirumah. Saat kamu duduk dikelas 2
Sekolah Dasar, ada sebuah kejadian.
Saat ia bertanya pada seorang janda kembang dikampung yang
jauh dari rumah kita. Ayahmu diajak masuk ke rumah janda itu. Dan tiba-tiba, Ayahmu
difitnah. Ada seorang warga yang salah faham dengan apa yang dia lihat. Warga
itu menuduh ayah berzinah dengan janda itu. Kemudian, ia dipukuli habis-habisan
sampai koma dan kehilangan kedua kakinya. Selesai koma, dia pulang ke rumah. Keadaannya
yang cacat, semua fitnah tentang dirinya tak membuat usahanya berhenti untuk
menegakkan agama yang benar.
Berita bahwa ayahmu berzinah, cepat sekali menyebar ke
kampung kita. Ibu sedikit terusik. Dan Ibu berusaha untuk tetap ada disamping
ayahmu. Tapi ayahmu, tidak menginginkan itu semua. Ia percaya, bahwa
kebahagiaan ibu tidak berada padanya.”
Chan meneteskan butiran Kristal dari kedua matanya. Hatinya
ikut merasa perih.
Kemudian Ibu melanjutkan ceritanya. “Mungkin waktu itu, kamu
melihat ibu diusir ayah. Mungkin kamu berpikir, kalau ibu dimarahi ayah, kan?
Tidak, Chan. Ayah menyuruh ibu pergi agar ibu tidak ikut menanggung penderitaan
ayah. Ayah ingin ibu bahagia tanpanya. Itu alasan ayah, Chan. Kamu tak
seharusnya membenci ayah..” Ibu menangis tersedu seraya memeluk Chan. Gadis itu
menangis dalam diam. Jadi selama ini? Ia menyiakan kesempatan untuk membalas
kebaikan ayahnya?
“Kau tahu? Siapa orang yang mengirimkanmu bersekolah ke
Jakarta? Dia ayah, Chan. Dia melakukan yang terbaik untukmu. Dan dia selalu
menghubungi ibu untuk sekedar memberitahu kabarmu. Ibu tahu, kalau kau tak
pamit padanya, kan? Keterlaluan sekali kau, sayang..”
“Ayah.. Bu, aku ingin bertemu ayah.” Ucap Chan dengan terbata.
Guncangan tangisnya membuat tubuhnya bergetar.
“Dia belum dikubur, temuilah. Minta maaf padanya.”
Saat keluar kamar dan melihat tubuh ayahnya yang terbujur
kaku, Chan menangis kembali. Begitu terlambat semua ini. Ia merasa tak pantas
meminta maaf pada sang Ayah. Ia terlalu hina. Kemudian Chan berjalan mendekat,
ia mencium punggung tangan sang Ayah dengan khidmat. Berharap, bahwa tangan itu
masih hangat, tak sedingin sekarang.
-
Ingatan Chan memudar, tak sadar bahwa ia telah sampai didepan
pemakaman pahlawan hidupnya. Dengan langkah ringan, ia berjalan mendekati
pusara.
“Selamat sore, Ayah. Aku bawa kabar gembira. Aku sarjana,
ayah. Ini hadiah untuk ayah. Terimakasih untuk semua yang terlambat..”