Antara Aku
dan Anabelle
(Cerpen :
Dinda Azzahroh F.)
Aku hanya diam.
Tertunduk diantara puluhan pohon disekitarku. Menatap sunyi danau dihadapanku.
Dan menulikan telingaku dari suara kicauan burung yang seolah ingin
menghiburku.
Bunga
mawar merah itu bergoyang pelan akibat air embun dari daun tumbuhan lain yang
berada tepat diatasnya jatuh membasahi mahkotanya yang indah. Cantik. Aku
tersenyum seraya memetiknya.
Ku
cium harum yang wangi dari mawar tersebut. Kemudian, aku mendekapnya dalam
dadaku, “Andai aku bisa sepertimu. Tetap indah walau penuh dengan duri
ditubuhmu.” Ucapku lirih.
Kematian.
Aku tahu, semua orang pasti akan merasakannya. Tapi, kehilangan orang yang kita
cintai tak semudah kita meninggalkannya.
Bagaskara. Nama itu tak akan pernah
hilang dari memori kehidupanku. Nama itu adalah nama seseorang yang
bertahun-tahun telah mengisi ruang hatiku, nama seseorang yang pertama kali
mengajarkanku tentang arti sebuah kasih sayang, ketulusan, pengorbanan,
kepercayaan, bahkan cinta.
Tanggal
14 Februari 2008. Pertama kalinya kau menatapku erat-erat.
“Aku
pikir, kamu itu nyebelin lho, Cha..” katamu disambut dengan gemuruh ombak. Aku
mencibir, dan kamu pun tertawa kecil.
“Enak
aja! Kamu itu yang nyebelin. Sok cool, sok ganteng, sok jadi artis di sekolah.”
“Tapi
sekarang beda kan?” godamu sambil menaik turunkan alis.
Aku
terdiam sejenak, bingung untuk menjawab “Ya sedikit sih. Tapi masih tetep
nyebelin. Banget malahan.”
“Nyeh,
kamu mah..”
“Hehehe”
Hari
ini kami duduk berdekatan, disebuah pantai paling terkenal di Bali. Kuta. Kau
yang mengajakku kemari. Katamu, aku akan menyesal bila tak ikut bersamamu.
Jadi, terpaksa aku pergi bersamamu sore ini.
“Kamu
tahu gak bedanya ombak sama kamu?” tanyamu tiba-tiba.
“Enggak.”
Jawabku singkat. “Pasti kamu mau gombalin aku kan? Percuma lagi, Gas, gak
mempan.” Ujarku seolah meremehkanmu.
Kamu
mendengus kesal karena jengkel dengan sikapku. “Percaya gak percaya, kamu harus
dengerin. Perbedaan ombak sama kamu itu adalah, kalau ombak hanya ada di laut,
tapi kalau kamu hanya ada dihatiku.”
Jujur,
saat ini aku mulai salah tingkah, tapi aku berusaha untuk mengelaknya. Jangan
tertipu, jangan sampai terenyuh dengan kata-katanya! Tolakku dalam hati.
“Huahaha.
Jangan konyol deh, Gas. Bisa aja kamu..” ucapku berbohong. Aku beranjak dari
dudukku, mencoba mencari oksigen hanya untuk menetralkan detak jantungku.
Lalu,
kau ikut berdiri. Dan kau mulai menatapku dengan tatapan yang –menurutku-
menakutkan. “Ocha. Bisa gak sih serius dikit? Aku ini lagi serius Cha, gak
main-main. Aku tulus sayang sama kamu. Apa itu salah?”
Aku
sedikit terkejut mendengar pengakuan itu. Bagaskara adalah orang yang paling
aku benci, tapi juga orang yang paling aku sayang menyatakan perasaan sukanya
padaku. Tuhan, apakah kali ini dia serius? Tapi mengapa aku masih ragu?
“Masih
gak percaya juga? Oke.” Katamu sedikit putus asa. Tapi kau tetap ingin
membuatku percaya dengan kata-katamu. “Aku tulus suka sama kamu, Cha. Memang,
dari awal kita ketemu, kita udah jadi musuh. Tapi aku lihat sesuatu yang lain
dari kamu, Cha, saat kamu mainkan grand piano dihadapan seluruh orang. Jujur,
aku mulai suka sama kamu gara-gara itu. Karena, kamu itu mengingatkan aku pada
seseorang yang dulu pernah lama singgah di hatiku.”
“Anabelle?”
terkaku.
“Darimana
kau tahu?”
“Ah,
itu tak penting. Lanjutkan ceritamu?”
“Ya.
Anabelle adalah gadis teristimewa yang pernah aku miliki. Dia mengajariku
apapun yang belum pernah aku ketahui didunia ini. Dia mengajariku arti sebuah
mencintai dengan sepenuh hati. Dia mengubah duniaku.” Ucapmu sedikit bergetar.
Aku tak pernah melihatmu begitu rapuh sebelumnya. “Tapi sayang, dia
meninggalkanku karena penyakit jantung bawaan yang ia derita. Dan Tuhan ambil
dia dariku dengan caraNya. Dia sempat berkata bahwa dia juga sayang padaku
disaat terakhirnya.”
“Sudahlah,
Gas. Gak perlu kamu ceritain semuanya.”
“Tak
apa.” Katamu sambil tersenyum. “Aku menemukan kesamaan lain antara kamu dan
Anabelle selain cara kalian memainkan grand piano.”
“Apa
itu?”
“Rambut
kalian yang hitam, panjang, serta bergelombang. Dan mata biru milik kalian. Itu
semua mirip.” Katamu disertai dengan senyuman. “ Dan aku ingin kamu jadi
pacarku, Cha. Aku ingin kamu yang menggantikan Anabelle dihati aku. Bukan yang
lain. Kamu mau kan, Cha?”
Aku
hanya terdiam mendengar kalimat terakhir itu. Apakah aku bisa menggantikan
posisi Anabelle? Dia itu wanita sempurna. Tak seperti aku. Bagaskara, mengapa
kau menunjukku untuk menggantikan dirinya?
“Aku
gak maksa kamu untuk jawab sekarang, kok.” Katamu pasrah. “Hari udah sore,
sebaiknya aku pulang. Makasih udah denger pernyataan konyol dariku. Selamat
sore.” Ujarmu sambil tersenyum kecewa. Dan engkau pun mulai balik badan dan
melangkah pergi dari hadapanku.
Sunsets
sore itu seolah ikut kecewa, ia mengiringimu pergi untuk ke rumah.
“Bagaskara!!”
teriakku kencang melawan jeritan ombak.
Kemudian,
kau berbalik ke arahku. Aku tersenyum hangat, ternyata, suaraku terjangkau oleh
pendengaranmu. Saat itu juga, aku berlari mendekatimu. Tanpa sadar, aku telah
memelukmu. Kemudian aku berkata, “Aku mau.” Tepat ditelingamu.
Aku merasakan tanganmu mulai
melingkar di pinggangku. “Makasih.” Tuturmu kala itu.
Aku
tersadar dari lamunanku. Masa itu. Mengapa masih teringat jelas dalam
pikiranku?
Aku
pun segera beranjak dari dudukku. Meletakkan mawar merah berduri itu di sana.
Hari mulai gelap. Aku harus segera pulang.
Aku
melangkahkan kaki dengan gontai menuju ke rumah yang tak jauh dari sini.
Berjalan sendiri sangatlah berbeda bila dibandingkan berjalan bersamamu. Setiap
langkah demi langkah seolah menjadi hidup. Dengan suara serakmu, dengan candaan
yang lucu darimu, dengan tawamu yang khas itu. Bagaskara, aku benar-benar
merindukanmu disini. Saat ini.
Tak
terasa, dalam jarak yang relatif dekat, aku menemukan cahaya bersinar diantara tumbuhan-tumbuhan liar petang itu.
Kediamanku. Kalian bisa mengira kalau sekarang aku sedang hidup dihutan. Tapi
sungguh, ini bukan hutan. Melainkan sebuah villa pribadi milik keluarga
Anggara, keluargaku.
Kata
mama dan papa, aku sangat memerlukan ketenangan. Makanya, mereka membawaku
kesini. Selain agar bisa melupakan kegiatan rumitku di Bali.
Kedua orang tuaku telah
berdiri didepan rumah. Saat aku mendekat, mereka segera memelukku. Sepertinya,
mereka khawatir akan kepergianku secara tiba-tiba. Padahal, hanya di sekitar
villa, kan?
“Darimana
aja, dek?” Tanya Papa mengawali.
“Jangan
main terlalu jauh bahkan sampai malam begini dong. Kalau ada apa-apa sama kamu
gimana? Siapa yang bakal jaga kamu?” sahut mama bernada mengomel.
Mengapa
setiap detik aku harus lapor pada mereka? Aku bukan anak-anak lagi. Aku 17
tahun. Mengapa mereka begitu ketat menjagaku? Aku ingin bebas. Hanya itu.
“Tuhan
akan menjagaku. Seperti Dia menjaga Bagaskara.” Jawabku pendek. Aku pun segera
menerobos masuk ke dalam rumah. Tak perduli bagaimana perasaan mereka.
Aku
berlari dan mengunci pintu kamarku. Aku menangis disamping jendela besar yang
dipasang disudut kamar. Aku terus menangis sambil memandangi kesunyian malam.
Aku ingin seperti dulu. Aku ingin bebas.
Disaat
aku menyeka air mataku, aku melihat berpuluhan cahaya terbang kesana kemari.
Kunang-kunang. Cahayanya begitu cantik mengalahkan sang bulan.
Kemudian aku teringat akan Bagaskara
kembali. Dulu, saat kami kemah disebuah hutan, ia mengambil seekor
kunang-kunang untuk ditunjukkan padaku. Wajah Bagaskara penuh akan cahaya dari
kunang-kunang yang ada dibotol kecil itu.
“Cha,
lihat deh aku bawa apa?” katamu sembari menyodorkan botol kecil padaku.
Aku
menerimanya dan sekarang aku bisa melihat isi botol itu dengan jelas. “Firefly. Ini kunang-kunang, kan?”
“Yap.”
Engkau
pun duduk disampingku, didekat api unggun. “Tahu gak? Apa perbedaan kamu sama
kunang-kunang?” tanyamu.
Sontak,
aku menoleh ke arahmu. Bukankah rayuan itu hampir sama dengan rayuan yang kau
buat untukku dipantai? Bodoh. Untung yang tahu hanya aku. Coba saja anak satu
kelas yang tahu. Bakalan repot jadinya “Enggak.” Jawabku jujur.
“Kunang-kunang
itu binatang penerang dikala malam. Kalau kamu adalah peri penerang hidupku.”
Ucapmu bernada serius.
“Cieee
cieee cieeee..” koor seluruh peserta kemah. Tuhan, kami lupa. Yang ada disini
bukan hanya kami berdua, melainkan siswa satu kelas dan guru-guru pilihan. Terpaksa,
kami menahan malu saat itu juga.
Aku
mencubit pinggang Bagaskara yang hanya menyeringai saat teman-teman
menggodanya. “Bagas, aku malu tau!” bisikku.
Karena
geli dengan cubitan yang aku berikan, Bagaskara menjatuhkan botol berisi
kunang-kunang itu. Dan kunang-kunang itu
lepas seketika. “Yaah..” kata kami tak rela.
“Maaf deh. Kapan-kapan aku cari
waktu yang tepat buat gombalin kamu. Gara-gara begini, kunang-kunangnya lepas.
Maaf yah.” Ujarmu meminta maaf padaku. Aku tertawa geli mendengarnya. Konyol
juga ya kejadian ini.
Mau
tak mau, aku ikut tersenyum. Getir. Sampai kapanpun, aku tak akan mampu
menghapus kenangan itu. Kenangan bersama orang terindah. Orang teristimewa yang
pernah aku miliki.
Tiba-tiba
HPku bergetar. Ada telpon masuk. Saat kumelihat layarnya, tertulis kata ‘Mama’.
Dengan bermalasan, aku mengangkatnya.
“Halo?
Adek? Sekarang ganti baju ya. Waktunya check up.”
“Now?”
“Right
now.”
“Okay.
Wait a minute.”
Dan
aku pun memutuskan telpon itu. Dengan segera, aku ganti baju dan keluar kamar.
Papa dan Mama telah menungguku di ruang tamu. Mereka tersenyum. Tapi, terasa
ganjil. Mereka tersenyum khawatir. “Kenapa kamu pucat sekali? Ada yang sakit?”
Tanya Papa.
“Tidak. Aku baik-baik saja.” Jawabku
apa adanya. Memang aku tak merasakan apapun hari ini. Tapi, seringkali aku
merasakan bahwa jantungku terkadang berhenti untuk beberapa detik. Ku pikir,
ini tak akan menjadi masalah yang besar.
“A little bit longer and I’ll be fine..”
ucapku sambil mengakhiri lagu yang diciptakan oleh musisi favoriteku dari
California. Nick Jonas. Dengan segera, ruangan itu penuh akan tepuk tangan yang
meriah.
Aku
membungkukkan badanku pada penonton. Tanda sebuah penghormatan. Kemudian, aku
turun perlahan dari atas panggung, dan segera menghampiri seseorang. Tentu
saja, dia adalah Bagaskara.
Dengan
cepat, aku berhasil menemukannya. Tepat dibelakang panggung.
“Kamu
terlihat anggun dengan gaun putih selutut itu. Permainan pianomu pun juga tak
kalah dengan permainan orang-orang tingkat internasional. Suaramu indah,
seindah pesonamu diatas sana.” Sanjungmu. Itu membuat pipiku memanas seketika.
“Tapi ada satu hal yang janggal. Kalau aku Tanya, kamu mau jawab dengan jujur?”
tanyamu padaku.
Pertanyaan
apa? Aku tak mengerti maksud Bagaskara. Baru kali ini, aku melihat ekspresinya
yang begitu serius. “Ya, aku janji akan menjawab pertanyaanmu dengan jujur.”
Kataku yang tak punya jawaban lain selain ini.
“Baiklah.
Tapi sebaiknya, kita duduk disitu.” Tunjukmu pada sebuah kursi panjang dekat
air terjun buatan. Aku mengangguk. Dan kita berjalan beriringan dengan rasa
canggung.
Setelah
kita duduk berdua, kamu pun mulai bertanya “Dari sekian banyaknya lagu. Kenapa
kamu harus memilih lagu itu? Dan kenapa kamu begitu menghayatinya? Apakah
kisahmu sama seperti lagu itu?”
Tuhan.
Mengapa Bagaskara begitu teliti dengan gerak-gerikku. Aku terperangkap. Aku
terkepung. Aku terjebak. Aku tak punya cara lain selain berkata jujur padanya.
“Mungkin
ini waktu yang tepat agar kamu tahu semuanya.” Ujarku sambil menunduk.
“Tahu
apa? Tentang apa?” tanyamu penasaran.
Aku
mengangkat wajahku. Berusaha tetap menatap mata coklat milikmu walaupun
terhalang oleh butiran air mata yang akan menyeruak keluar. “Kamu ingat? Dulu,
kamu pernah berkata kalau aku dan Anabelle itu sama, kan?”
“Iya.
Terus kenapa?”
“Aku
dan Ana itu adalah saudara. Saudara kembar, malah..”
“Kau?
Dan Ana saudara kembar?” ucapmu tak percaya.
“Benar.
Hanya warna kulit kita yang berbeda. Aku kuning, sedangkan dia sawo matang.”
Kamu
tertunduk sambil menutup mukamu dengan kedua tanganmu. Kemudian kamu menahan
dagumu dengan kedua tanganmu.
“Sebenanya,
dia bukan seorang gadis penyakitan. Dia gak pernah punya sakit jantung bawaan.
Yang punya penyakit itu hanyalah aku dan kakek. Bukan dia.” Kini air mataku
menyeruak keluar. Semuanya. “Dia mendonorkan jantungnya Cuma buat aku yang pada
saat itu berkondisi sangat lemah. Bahkan aku koma 4 hari. Dia adalah kakak
terhebat yang pernah aku miliki.”
Lalu
kau memelukku setelah mendengarkan suaraku yang bergetar hebat.
“Setelah
itu, aku kembali sehat selama 3 tahun. Aku senang. Aku bisa bebas kemana-mana,
aku bisa sekolah, aku bisa jalan-jalan, semuanya aku bisa lakukan.” Kataku
kembali mencoba tetap tegar. “Tapi, baru-baru ini dokter bilang, penyakit
jantungku kumat lagi. Bahkan lebih parah dari yang sebelumnya..”
Kau
menggelengkan kepalamu seolah berkata ‘Gak mungkin’
“Aku
minta maaf, Gas. Aku bukanlah pengganti yang sempurna buat kamu. Aku minta
maaf..”
“Aku
mohon hentikan, Cha. Kamu gak seharusnya minta maaf ke aku. Yang harus minta
maaf itu aku. Aku salah, Cha. Kenapa aku gak tahu hal ini dari dulu. Aku
terlalu bego. Dan aku sendiri gak sadar kalau bakalan buat kamu merasa bersalah
pada Ana. Aku minta maaf.”
“Aku janji. Aku akan selalu ada buat
kamu. Percayalah, kamu pasti akan sembuh!” lanjutmu seolah menyadarkanku. Ya,
aku percaya, aku pasti akan sembuh. Terimakasih Bagaskara.
“Monica.
Kamu mikir apa? Kok bisa sampai drop begini?” Tanya dokter padaku.
“Aku
gak tahu, dok. Padahal, aku hanya mikir sedikit. Tapi kok bisa drop begini. Dan
aku baru sadar kalau kondisi aku mulai melemah.”
“Anda
beruntung sekali, bapak dan ibu Anggara. Kalian membawa anak gadis anda dalam
waktu yang tepat.” Ujar dokter dengan nada yang serius.
“Apa
maksud dokter? Ada apa dengan putri kami?” Tanya papa mencari-cari penjelasan.
Dokter
tersebut diam sejenak. Kemudian, beliau membaca hasil tesku sekali lagi.
Setelah itu, beliau menatapku dengan tatapan kekhawatiran. “Kali ini, saya
harus berkata jujur pada Monica. Monica terkena diabetes, makanya, penyakit
jantung bawaannya kembali menghantui hidupnya.”
Sontak,
Papa dan Mama menoleh padaku dengan mata mereka yang berkaca-kaca. Aku
tercengang, mulutku membentuk vocal A tanpa suara.
“Apakah
Ocha bisa sembuh lagi, dok? Mungkin, ia bisa sembuh dengan cara yang sama
seperti dulu?” Tanya papa sekali lagi.
“Kemungkinan
sembuh sangatlah kecil. Meskipun ia melakukan cangkok jantung kembali, itu
belum tentu berhasil. Sebab, diabetes yang Monica alami adalah diabetes basah.
Kami khawatir, kalau luka jaitannya tak bisa kering dan akhirnya dapat
menimbulkan infeksi disekitar jantung..” terang dokter tersebut.
Papa
memegangi kepalanya, seolah ia sudah kehabisan pikiran untuk mengobatiku. Mama
menutup mulutnya dengan satu tangannya, sedangkan tangan beliau yang satunya
sedang memelukku. Mama menangis. Air matanya keluar begitu deras. Sedangkan aku
hanya diam. Memandangi keadaan yang ada disekelilingku.
“Lalu,
apa yang bisa buat Ocha sembuh, dok?” Tanya papa sekali lagi.
Dokter
mengangkat kedua tangannya. “Hanya mukjizat dari Tuhan.” Tuturnya.
Ruangan ini seakan penuh dengan
tangis. Aku tak kuasa mendengarnya. Tiba-tiba dadaku sesak. Jantungku seakan
berdetak lebih pelan. Aku merintih kesakitan. Dokter pun segera mengambil
tindakan dengan cepat. Tiba-tiba tubuhku menjadi ringan. Dan mulai saat itu aku
tak ingat apa-apa.
Tempat
ini begitu indah. Lebih indah daripada pemandangan di villa. Aku berlari lepas
kesana-kemari tanpa ada rasa sakit yang menohok tajam jantungku. Lalu aku
melihat sebuah danau dengan sebuah perahu yang ada ditepinya. Dan aku pun
segera menghampirinya.
Disana
aku melihat seseorang yang aku kenal jelas. Anabelle. Dia tersenyum ceria
sambil menghampiriku “Selamat datang, adikku..” ucap Ana dengan sopan. Bunga
mawar putih yang diletakkan pada sebelah kiri telinganya menambah kecantikan
dirinya.
“Ini
dimana, Ana?” tanyaku.
“Ini
taman surga. Indah kan?”
“Iya.
Sangat indah. Aku ingin tinggal disini lebih lama. Aku bosan dengan bau rumah
sakit. Gak enak.”
Ana
tersenyum kecil, “Ada yang ingin bertemu denganmu.” Ucap Ana.
“Siapa?”
“Ikut
aku, yuk.” Kata Ana sembari menggandeng tanganku. Ia membawaku pada suatu
tempat. Tempatnya tak jauh dari danau ini.
“Kau
lihat pemuda disamping sana?” tunjuknya pada seseorang yang sedang berdiri
disamping gazebo.
“Ya,
aku melihatnya.”
“Dia
ingin bertemu denganmu. Hampirilah, dia tak sabar menunggu.” Kata Ana. Belum
sempat ku Tanya mengapa, Ana telah pergi meninggalkanku sendiri.
Aku
berjalan mendekati pemuda tersebut. Ku colek bahunya pelan. Kemudian ia menoleh
padaku.
Coba
bayangkan, kalau itu adalah wajah seseorang yang sangat kalian cintai.
Sedangkan, Ia dan dirimu telah berbeda dunia. Apakah kalian sanggup meski hanya
untuk berkata ‘Aku merindukanmu’
sambil memeluknya dengan riang?
Tidak.
Aku tak sanggup melakukannya. Aku hanya menangis haru memandang seorang
Bagaskara yang berdiri tepat disampingku. Tuhan, mengapa kau lumpuhkan aku
mendadak? Aku ingin memeluknya. Mengapa syarafku tak bekerja?
“Kenapa
menangis? Sudah berulangkali aku bilang, jangan menangis dihadapanku. Aku benci
kalau melihatmu rapuh.” Ucapmu dengan lantang.
“Bodoh.
Aku menangis bukan karena rapuh, tapi, aku menangis karena aku senang
melihatmu.” Cibirku.
“Kalau
kamu gak rapuh, kenapa kamu menyerah dengan penyakitmu? Mengapa kamu malah main
disini? Itu sama saja dengan lari dari masalah.”
“Aku
capek, Gas. Aku capek dengan semua itu. Aku ingin bebas. Aku ingin mati.”
“Kamu
gak mikirin perasaan mama dan papamu? Mereka akan sedih bila kehilangan kamu.”
Aku
memukul lenganmu kuat-kuat. “Kalau begitu, apakah kamu sendiri gak mikirin
perasaan aku? Aku juga sedih bila harus kehilanganmu. Kenapa juga kamu gak
berjuang melawan kecelakaan itu? Itu sama aja kalo kamu lari dari masalah.” Aku
balik semua perkataanmu.
Tiba-tiba
kamu memelukku. Aku merasakan nyaman yang luar biasa. Aku merindukan pelukan
ini. “Itu semua karena takdir kita berbeda. Aku mohon. Kembalilah, Cha. Terus
berjuang melawan penyakitmu. Buktiin kalau kamu itu gak rapuh. You are the
stronger girl. Aku sayang sama kamu..” ujarmu lembut sembari mencium keningku.
Aku
memelukmu lebih erat lagi. Aku tak ingin pergi jauh darimu. Tapi, kata-katamu
benar. Aku tak mungkin bisa membuat kedua orang tuaku bersedih. Aku tak mau
melihat mereka menangis.
Aku
melepaskan pelukan ini dengan berat hati “Wish me luck. And I hope we’ll meet
again someday, Bagaskara..” kataku untuk yang terakhirnya.
Kamu
tersenyum simpul seraya membungkukkan badan. Lalu, kau melambaikan tangan
padaku, tanda sebuah perpisahan. “Selamat jalan, Monica!” teriakmu kencang.
Aku
berlari cepat meninggalkan tempat ini. Aku harus mengabulkan permintaan
Bagaskara. Aku harus tetap berjuang. Aku harus tetap hidup. Mama, Papa, aku
akan kembali pada kalian. Aku tak akan pergi dari kalian.