Selasa, 07 Februari 2012

Antara Aku dan Anabelle (Cerpen)

Antara Aku dan Anabelle
(Cerpen : Dinda Azzahroh F.)


Aku hanya diam. Tertunduk diantara puluhan pohon disekitarku. Menatap sunyi danau dihadapanku. Dan menulikan telingaku dari suara kicauan burung yang seolah ingin menghiburku.
            Bunga mawar merah itu bergoyang pelan akibat air embun dari daun tumbuhan lain yang berada tepat diatasnya jatuh membasahi mahkotanya yang indah. Cantik. Aku tersenyum seraya memetiknya.
            Ku cium harum yang wangi dari mawar tersebut. Kemudian, aku mendekapnya dalam dadaku, “Andai aku bisa sepertimu. Tetap indah walau penuh dengan duri ditubuhmu.” Ucapku lirih.
            Kematian. Aku tahu, semua orang pasti akan merasakannya. Tapi, kehilangan orang yang kita cintai tak semudah kita meninggalkannya.
            Bagaskara. Nama itu tak akan pernah hilang dari memori kehidupanku. Nama itu adalah nama seseorang yang bertahun-tahun telah mengisi ruang hatiku, nama seseorang yang pertama kali mengajarkanku tentang arti sebuah kasih sayang, ketulusan, pengorbanan, kepercayaan, bahkan cinta.

            Tanggal 14 Februari 2008. Pertama kalinya kau menatapku erat-erat.
            “Aku pikir, kamu itu nyebelin lho, Cha..” katamu disambut dengan gemuruh ombak. Aku mencibir, dan kamu pun tertawa kecil.
            “Enak aja! Kamu itu yang nyebelin. Sok cool, sok ganteng, sok jadi artis di sekolah.”
            “Tapi sekarang beda kan?” godamu sambil menaik turunkan alis.
            Aku terdiam sejenak, bingung untuk menjawab “Ya sedikit sih. Tapi masih tetep nyebelin. Banget malahan.”
            “Nyeh, kamu mah..”
            “Hehehe”
            Hari ini kami duduk berdekatan, disebuah pantai paling terkenal di Bali. Kuta. Kau yang mengajakku kemari. Katamu, aku akan menyesal bila tak ikut bersamamu. Jadi, terpaksa aku pergi bersamamu sore ini.
            “Kamu tahu gak bedanya ombak sama kamu?” tanyamu tiba-tiba.
            “Enggak.” Jawabku singkat. “Pasti kamu mau gombalin aku kan? Percuma lagi, Gas, gak mempan.” Ujarku seolah meremehkanmu.
            Kamu mendengus kesal karena jengkel dengan sikapku. “Percaya gak percaya, kamu harus dengerin. Perbedaan ombak sama kamu itu adalah, kalau ombak hanya ada di laut, tapi kalau kamu hanya ada dihatiku.”
            Jujur, saat ini aku mulai salah tingkah, tapi aku berusaha untuk mengelaknya. Jangan tertipu, jangan sampai terenyuh dengan kata-katanya! Tolakku dalam hati.
            “Huahaha. Jangan konyol deh, Gas. Bisa aja kamu..” ucapku berbohong. Aku beranjak dari dudukku, mencoba mencari oksigen hanya untuk menetralkan detak jantungku.
            Lalu, kau ikut berdiri. Dan kau mulai menatapku dengan tatapan yang –menurutku- menakutkan. “Ocha. Bisa gak sih serius dikit? Aku ini lagi serius Cha, gak main-main. Aku tulus sayang sama kamu. Apa itu salah?”
            Aku sedikit terkejut mendengar pengakuan itu. Bagaskara adalah orang yang paling aku benci, tapi juga orang yang paling aku sayang menyatakan perasaan sukanya padaku. Tuhan, apakah kali ini dia serius? Tapi mengapa aku masih ragu?
            “Masih gak percaya juga? Oke.” Katamu sedikit putus asa. Tapi kau tetap ingin membuatku percaya dengan kata-katamu. “Aku tulus suka sama kamu, Cha. Memang, dari awal kita ketemu, kita udah jadi musuh. Tapi aku lihat sesuatu yang lain dari kamu, Cha, saat kamu mainkan grand piano dihadapan seluruh orang. Jujur, aku mulai suka sama kamu gara-gara itu. Karena, kamu itu mengingatkan aku pada seseorang yang dulu pernah lama singgah di hatiku.”
            “Anabelle?” terkaku.
            “Darimana kau tahu?”
            “Ah, itu tak penting. Lanjutkan ceritamu?”
            “Ya. Anabelle adalah gadis teristimewa yang pernah aku miliki. Dia mengajariku apapun yang belum pernah aku ketahui didunia ini. Dia mengajariku arti sebuah mencintai dengan sepenuh hati. Dia mengubah duniaku.” Ucapmu sedikit bergetar. Aku tak pernah melihatmu begitu rapuh sebelumnya. “Tapi sayang, dia meninggalkanku karena penyakit jantung bawaan yang ia derita. Dan Tuhan ambil dia dariku dengan caraNya. Dia sempat berkata bahwa dia juga sayang padaku disaat terakhirnya.”
            “Sudahlah, Gas. Gak perlu kamu ceritain semuanya.”
            “Tak apa.” Katamu sambil tersenyum. “Aku menemukan kesamaan lain antara kamu dan Anabelle selain cara kalian memainkan grand piano.”
            “Apa itu?”
            “Rambut kalian yang hitam, panjang, serta bergelombang. Dan mata biru milik kalian. Itu semua mirip.” Katamu disertai dengan senyuman. “ Dan aku ingin kamu jadi pacarku, Cha. Aku ingin kamu yang menggantikan Anabelle dihati aku. Bukan yang lain. Kamu mau kan, Cha?”
            Aku hanya terdiam mendengar kalimat terakhir itu. Apakah aku bisa menggantikan posisi Anabelle? Dia itu wanita sempurna. Tak seperti aku. Bagaskara, mengapa kau menunjukku untuk menggantikan dirinya?
            “Aku gak maksa kamu untuk jawab sekarang, kok.” Katamu pasrah. “Hari udah sore, sebaiknya aku pulang. Makasih udah denger pernyataan konyol dariku. Selamat sore.” Ujarmu sambil tersenyum kecewa. Dan engkau pun mulai balik badan dan melangkah pergi dari hadapanku.
            Sunsets sore itu seolah ikut kecewa, ia mengiringimu pergi untuk ke rumah.
            “Bagaskara!!” teriakku kencang melawan jeritan ombak.
            Kemudian, kau berbalik ke arahku. Aku tersenyum hangat, ternyata, suaraku terjangkau oleh pendengaranmu. Saat itu juga, aku berlari mendekatimu. Tanpa sadar, aku telah memelukmu. Kemudian aku berkata, “Aku mau.” Tepat ditelingamu.
            Aku merasakan tanganmu mulai melingkar di pinggangku. “Makasih.” Tuturmu kala itu.

            Aku tersadar dari lamunanku. Masa itu. Mengapa masih teringat jelas dalam pikiranku?
            Aku pun segera beranjak dari dudukku. Meletakkan mawar merah berduri itu di sana. Hari mulai gelap. Aku harus segera pulang.
            Aku melangkahkan kaki dengan gontai menuju ke rumah yang tak jauh dari sini. Berjalan sendiri sangatlah berbeda bila dibandingkan berjalan bersamamu. Setiap langkah demi langkah seolah menjadi hidup. Dengan suara serakmu, dengan candaan yang lucu darimu, dengan tawamu yang khas itu. Bagaskara, aku benar-benar merindukanmu disini. Saat ini.
            Tak terasa, dalam jarak yang relatif dekat, aku menemukan     cahaya bersinar diantara tumbuhan-tumbuhan liar petang itu. Kediamanku. Kalian bisa mengira kalau sekarang aku sedang hidup dihutan. Tapi sungguh, ini bukan hutan. Melainkan sebuah villa pribadi milik keluarga Anggara, keluargaku.
            Kata mama dan papa, aku sangat memerlukan ketenangan. Makanya, mereka membawaku kesini. Selain agar bisa melupakan kegiatan rumitku di Bali.
Kedua orang tuaku telah berdiri didepan rumah. Saat aku mendekat, mereka segera memelukku. Sepertinya, mereka khawatir akan kepergianku secara tiba-tiba. Padahal, hanya di sekitar villa, kan?
            “Darimana aja, dek?” Tanya Papa mengawali.
            “Jangan main terlalu jauh bahkan sampai malam begini dong. Kalau ada apa-apa sama kamu gimana? Siapa yang bakal jaga kamu?” sahut mama bernada mengomel.
            Mengapa setiap detik aku harus lapor pada mereka? Aku bukan anak-anak lagi. Aku 17 tahun. Mengapa mereka begitu ketat menjagaku? Aku ingin bebas. Hanya itu.
            “Tuhan akan menjagaku. Seperti Dia menjaga Bagaskara.” Jawabku pendek. Aku pun segera menerobos masuk ke dalam rumah. Tak perduli bagaimana perasaan mereka.
            Aku berlari dan mengunci pintu kamarku. Aku menangis disamping jendela besar yang dipasang disudut kamar. Aku terus menangis sambil memandangi kesunyian malam. Aku ingin seperti dulu. Aku ingin bebas.
            Disaat aku menyeka air mataku, aku melihat berpuluhan cahaya terbang kesana kemari. Kunang-kunang. Cahayanya begitu cantik mengalahkan sang bulan.
            Kemudian aku teringat akan Bagaskara kembali. Dulu, saat kami kemah disebuah hutan, ia mengambil seekor kunang-kunang untuk ditunjukkan padaku. Wajah Bagaskara penuh akan cahaya dari kunang-kunang yang ada dibotol kecil itu.

            “Cha, lihat deh aku bawa apa?” katamu sembari menyodorkan botol kecil padaku.
            Aku menerimanya dan sekarang aku bisa melihat isi botol itu dengan jelas. “Firefly. Ini kunang-kunang, kan?”
            “Yap.”
            Engkau pun duduk disampingku, didekat api unggun. “Tahu gak? Apa perbedaan kamu sama kunang-kunang?” tanyamu.
            Sontak, aku menoleh ke arahmu. Bukankah rayuan itu hampir sama dengan rayuan yang kau buat untukku dipantai? Bodoh. Untung yang tahu hanya aku. Coba saja anak satu kelas yang tahu. Bakalan repot jadinya “Enggak.” Jawabku jujur.
            “Kunang-kunang itu binatang penerang dikala malam. Kalau kamu adalah peri penerang hidupku.” Ucapmu bernada serius.
            “Cieee cieee cieeee..” koor seluruh peserta kemah. Tuhan, kami lupa. Yang ada disini bukan hanya kami berdua, melainkan siswa satu kelas dan guru-guru pilihan. Terpaksa, kami menahan malu saat itu juga.
            Aku mencubit pinggang Bagaskara yang hanya menyeringai saat teman-teman menggodanya. “Bagas, aku malu tau!” bisikku.
            Karena geli dengan cubitan yang aku berikan, Bagaskara menjatuhkan botol berisi kunang-kunang  itu. Dan kunang-kunang itu lepas seketika. “Yaah..” kata kami tak rela.
            “Maaf deh. Kapan-kapan aku cari waktu yang tepat buat gombalin kamu. Gara-gara begini, kunang-kunangnya lepas. Maaf yah.” Ujarmu meminta maaf padaku. Aku tertawa geli mendengarnya. Konyol juga ya kejadian ini.

            Mau tak mau, aku ikut tersenyum. Getir. Sampai kapanpun, aku tak akan mampu menghapus kenangan itu. Kenangan bersama orang terindah. Orang teristimewa yang pernah aku miliki.
            Tiba-tiba HPku bergetar. Ada telpon masuk. Saat kumelihat layarnya, tertulis kata ‘Mama’. Dengan bermalasan, aku mengangkatnya.
            “Halo? Adek? Sekarang ganti baju ya. Waktunya check up.”
            “Now?”
            “Right now.”
            “Okay. Wait a minute.”
            Dan aku pun memutuskan telpon itu. Dengan segera, aku ganti baju dan keluar kamar. Papa dan Mama telah menungguku di ruang tamu. Mereka tersenyum. Tapi, terasa ganjil. Mereka tersenyum khawatir. “Kenapa kamu pucat sekali? Ada yang sakit?” Tanya Papa.
            “Tidak. Aku baik-baik saja.” Jawabku apa adanya. Memang aku tak merasakan apapun hari ini. Tapi, seringkali aku merasakan bahwa jantungku terkadang berhenti untuk beberapa detik. Ku pikir, ini tak akan menjadi masalah yang besar.

            A little bit longer and I’ll be fine..” ucapku sambil mengakhiri lagu yang diciptakan oleh musisi favoriteku dari California. Nick Jonas. Dengan segera, ruangan itu penuh akan tepuk tangan yang meriah.
            Aku membungkukkan badanku pada penonton. Tanda sebuah penghormatan. Kemudian, aku turun perlahan dari atas panggung, dan segera menghampiri seseorang. Tentu saja, dia adalah Bagaskara.
            Dengan cepat, aku berhasil menemukannya. Tepat dibelakang panggung.
            “Kamu terlihat anggun dengan gaun putih selutut itu. Permainan pianomu pun juga tak kalah dengan permainan orang-orang tingkat internasional. Suaramu indah, seindah pesonamu diatas sana.” Sanjungmu. Itu membuat pipiku memanas seketika. “Tapi ada satu hal yang janggal. Kalau aku Tanya, kamu mau jawab dengan jujur?” tanyamu padaku.
            Pertanyaan apa? Aku tak mengerti maksud Bagaskara. Baru kali ini, aku melihat ekspresinya yang begitu serius. “Ya, aku janji akan menjawab pertanyaanmu dengan jujur.” Kataku yang tak punya jawaban lain selain ini.
            “Baiklah. Tapi sebaiknya, kita duduk disitu.” Tunjukmu pada sebuah kursi panjang dekat air terjun buatan. Aku mengangguk. Dan kita berjalan beriringan dengan rasa canggung.
            Setelah kita duduk berdua, kamu pun mulai bertanya “Dari sekian banyaknya lagu. Kenapa kamu harus memilih lagu itu? Dan kenapa kamu begitu menghayatinya? Apakah kisahmu sama seperti lagu itu?”
            Tuhan. Mengapa Bagaskara begitu teliti dengan gerak-gerikku. Aku terperangkap. Aku terkepung. Aku terjebak. Aku tak punya cara lain selain berkata jujur padanya.
            “Mungkin ini waktu yang tepat agar kamu tahu semuanya.” Ujarku sambil menunduk.
            “Tahu apa? Tentang apa?” tanyamu penasaran.
            Aku mengangkat wajahku. Berusaha tetap menatap mata coklat milikmu walaupun terhalang oleh butiran air mata yang akan menyeruak keluar. “Kamu ingat? Dulu, kamu pernah berkata kalau aku dan Anabelle itu sama, kan?”
            “Iya. Terus kenapa?”
            “Aku dan Ana itu adalah saudara. Saudara kembar, malah..”
            “Kau? Dan Ana saudara kembar?” ucapmu tak percaya.
            “Benar. Hanya warna kulit kita yang berbeda. Aku kuning, sedangkan dia sawo matang.”
            Kamu tertunduk sambil menutup mukamu dengan kedua tanganmu. Kemudian kamu menahan dagumu dengan kedua tanganmu.
            “Sebenanya, dia bukan seorang gadis penyakitan. Dia gak pernah punya sakit jantung bawaan. Yang punya penyakit itu hanyalah aku dan kakek. Bukan dia.” Kini air mataku menyeruak keluar. Semuanya. “Dia mendonorkan jantungnya Cuma buat aku yang pada saat itu berkondisi sangat lemah. Bahkan aku koma 4 hari. Dia adalah kakak terhebat yang pernah aku miliki.”
            Lalu kau memelukku setelah mendengarkan suaraku yang bergetar hebat.
            “Setelah itu, aku kembali sehat selama 3 tahun. Aku senang. Aku bisa bebas kemana-mana, aku bisa sekolah, aku bisa jalan-jalan, semuanya aku bisa lakukan.” Kataku kembali mencoba tetap tegar. “Tapi, baru-baru ini dokter bilang, penyakit jantungku kumat lagi. Bahkan lebih parah dari yang sebelumnya..”
            Kau menggelengkan kepalamu seolah berkata ‘Gak mungkin’
            “Aku minta maaf, Gas. Aku bukanlah pengganti yang sempurna buat kamu. Aku minta maaf..”
            “Aku mohon hentikan, Cha. Kamu gak seharusnya minta maaf ke aku. Yang harus minta maaf itu aku. Aku salah, Cha. Kenapa aku gak tahu hal ini dari dulu. Aku terlalu bego. Dan aku sendiri gak sadar kalau bakalan buat kamu merasa bersalah pada Ana. Aku minta maaf.”
            “Aku janji. Aku akan selalu ada buat kamu. Percayalah, kamu pasti akan sembuh!” lanjutmu seolah menyadarkanku. Ya, aku percaya, aku pasti akan sembuh. Terimakasih Bagaskara.

            “Monica. Kamu mikir apa? Kok bisa sampai drop begini?” Tanya dokter padaku.
            “Aku gak tahu, dok. Padahal, aku hanya mikir sedikit. Tapi kok bisa drop begini. Dan aku baru sadar kalau kondisi aku mulai melemah.”
             “Anda beruntung sekali, bapak dan ibu Anggara. Kalian membawa anak gadis anda dalam waktu yang tepat.” Ujar dokter dengan nada yang serius.
            “Apa maksud dokter? Ada apa dengan putri kami?” Tanya papa mencari-cari penjelasan.
            Dokter tersebut diam sejenak. Kemudian, beliau membaca hasil tesku sekali lagi. Setelah itu, beliau menatapku dengan tatapan kekhawatiran. “Kali ini, saya harus berkata jujur pada Monica. Monica terkena diabetes, makanya, penyakit jantung bawaannya kembali menghantui hidupnya.”
            Sontak, Papa dan Mama menoleh padaku dengan mata mereka yang berkaca-kaca. Aku tercengang, mulutku membentuk vocal A tanpa suara.
            “Apakah Ocha bisa sembuh lagi, dok? Mungkin, ia bisa sembuh dengan cara yang sama seperti dulu?” Tanya papa sekali lagi.
            “Kemungkinan sembuh sangatlah kecil. Meskipun ia melakukan cangkok jantung kembali, itu belum tentu berhasil. Sebab, diabetes yang Monica alami adalah diabetes basah. Kami khawatir, kalau luka jaitannya tak bisa kering dan akhirnya dapat menimbulkan infeksi disekitar jantung..” terang dokter tersebut.
            Papa memegangi kepalanya, seolah ia sudah kehabisan pikiran untuk mengobatiku. Mama menutup mulutnya dengan satu tangannya, sedangkan tangan beliau yang satunya sedang memelukku. Mama menangis. Air matanya keluar begitu deras. Sedangkan aku hanya diam. Memandangi keadaan yang ada disekelilingku.
            “Lalu, apa yang bisa buat Ocha sembuh, dok?” Tanya papa sekali lagi.
            Dokter mengangkat kedua tangannya. “Hanya mukjizat dari Tuhan.” Tuturnya.
            Ruangan ini seakan penuh dengan tangis. Aku tak kuasa mendengarnya. Tiba-tiba dadaku sesak. Jantungku seakan berdetak lebih pelan. Aku merintih kesakitan. Dokter pun segera mengambil tindakan dengan cepat. Tiba-tiba tubuhku menjadi ringan. Dan mulai saat itu aku tak ingat apa-apa.

            Tempat ini begitu indah. Lebih indah daripada pemandangan di villa. Aku berlari lepas kesana-kemari tanpa ada rasa sakit yang menohok tajam jantungku. Lalu aku melihat sebuah danau dengan sebuah perahu yang ada ditepinya. Dan aku pun segera menghampirinya.
            Disana aku melihat seseorang yang aku kenal jelas. Anabelle. Dia tersenyum ceria sambil menghampiriku “Selamat datang, adikku..” ucap Ana dengan sopan. Bunga mawar putih yang diletakkan pada sebelah kiri telinganya menambah kecantikan dirinya.
            “Ini dimana, Ana?” tanyaku.
            “Ini taman surga. Indah kan?”
            “Iya. Sangat indah. Aku ingin tinggal disini lebih lama. Aku bosan dengan bau rumah sakit. Gak enak.”
            Ana tersenyum kecil, “Ada yang ingin bertemu denganmu.” Ucap Ana.
            “Siapa?”
            “Ikut aku, yuk.” Kata Ana sembari menggandeng tanganku. Ia membawaku pada suatu tempat. Tempatnya tak jauh dari danau ini.
            “Kau lihat pemuda disamping sana?” tunjuknya pada seseorang yang sedang berdiri disamping gazebo.
            “Ya, aku melihatnya.”
            “Dia ingin bertemu denganmu. Hampirilah, dia tak sabar menunggu.” Kata Ana. Belum sempat ku Tanya mengapa, Ana telah pergi meninggalkanku sendiri.
            Aku berjalan mendekati pemuda tersebut. Ku colek bahunya pelan. Kemudian ia menoleh padaku.
            Coba bayangkan, kalau itu adalah wajah seseorang yang sangat kalian cintai. Sedangkan, Ia dan dirimu telah berbeda dunia. Apakah kalian sanggup meski hanya untuk berkata ‘Aku merindukanmu’ sambil memeluknya dengan riang?
            Tidak. Aku tak sanggup melakukannya. Aku hanya menangis haru memandang seorang Bagaskara yang berdiri tepat disampingku. Tuhan, mengapa kau lumpuhkan aku mendadak? Aku ingin memeluknya. Mengapa syarafku tak bekerja?
            “Kenapa menangis? Sudah berulangkali aku bilang, jangan menangis dihadapanku. Aku benci kalau melihatmu rapuh.” Ucapmu dengan lantang.
            “Bodoh. Aku menangis bukan karena rapuh, tapi, aku menangis karena aku senang melihatmu.” Cibirku.
            “Kalau kamu gak rapuh, kenapa kamu menyerah dengan penyakitmu? Mengapa kamu malah main disini? Itu sama saja dengan lari dari masalah.”
            “Aku capek, Gas. Aku capek dengan semua itu. Aku ingin bebas. Aku ingin mati.”
            “Kamu gak mikirin perasaan mama dan papamu? Mereka akan sedih bila kehilangan kamu.”
            Aku memukul lenganmu kuat-kuat. “Kalau begitu, apakah kamu sendiri gak mikirin perasaan aku? Aku juga sedih bila harus kehilanganmu. Kenapa juga kamu gak berjuang melawan kecelakaan itu? Itu sama aja kalo kamu lari dari masalah.” Aku balik semua perkataanmu.
            Tiba-tiba kamu memelukku. Aku merasakan nyaman yang luar biasa. Aku merindukan pelukan ini. “Itu semua karena takdir kita berbeda. Aku mohon. Kembalilah, Cha. Terus berjuang melawan penyakitmu. Buktiin kalau kamu itu gak rapuh. You are the stronger girl. Aku sayang sama kamu..” ujarmu lembut sembari mencium keningku.
            Aku memelukmu lebih erat lagi. Aku tak ingin pergi jauh darimu. Tapi, kata-katamu benar. Aku tak mungkin bisa membuat kedua orang tuaku bersedih. Aku tak mau melihat mereka menangis.
            Aku melepaskan pelukan ini dengan berat hati “Wish me luck. And I hope we’ll meet again someday, Bagaskara..” kataku untuk yang terakhirnya.
            Kamu tersenyum simpul seraya membungkukkan badan. Lalu, kau melambaikan tangan padaku, tanda sebuah perpisahan. “Selamat jalan, Monica!” teriakmu kencang.
            Aku berlari cepat meninggalkan tempat ini. Aku harus mengabulkan permintaan Bagaskara. Aku harus tetap berjuang. Aku harus tetap hidup. Mama, Papa, aku akan kembali pada kalian. Aku tak akan pergi dari kalian.