Kamis, 30 Juni 2011

SEGER’S ADVENTURE


Tokoh utama : Anak-anak second generation (James, Albus, Lily, Rose, Hugo, Victoire, Dominique, Louis, Teddy, Molly, Lucy, Fred, dan Roxanne)

===

Teriknya panas matahari membuat mereka menyipitkan matanya. Rasanya, seperti tak ada angin yang lewat untuk menyejukkan tubuh mereka. Ditambah lagi, ocehan mematikan dari Mom-mom mereka yang tak ada hentinya menasehati –lebih tepatnya memarahi- anak-anaknya.

“James, Albus, dan Lily. Sejak kapan kalian berani berbuat nekat seperti itu pada mom?” bentak Ginny yang mulai kehilangan kesabaran. “Apalagi kau, James. Sebagai kakak, seharusnya kau mencontohi adik-adikmu dengan perbuatan yang baik, tidak seperti ini.”

James, Albus, dan Lily tersentak bersamaan. Sepertinya, Mom Ginny benar-benar marah kepada kita, marah besar, pikir James. “Forgive us mom..” kata James sembari menunduk takut. Albus dan Lily juga ikut menunduk.

“Rose, momy pikir kau cerdas. Ternyata momy salah.” Kata Hermione sedikit tak tega. “Kau tahu, apa yang baru saja kau dan saudaramu lakukan itu adalah tindakan berbahaya. Dan, untung saja kami cepat sadar bahwa kalian tak ada dihalaman rumah.” Lanjutnya sembari menatap kecewa ke arah Hugo. Rose dan Hugo menunduk takut.

Seperti Ginny dan Hermione. Fleur, Tonks, Audrey, dan Angelina juga memarahi putra-putrinya dengan ocehan serupa. Bagaimana tidak marah jika kita melihat anak-anak kita pergi tanpa pamit hanya untuk membantu Rose bertemu dengan Scorpius di Malfoy Manor tanpa ijin pada kedua orang tuanya?

Ocehan para ibu-ibu muda tersebut terdengar sampai dalam. Terbukti, Harry, Ron, Bill, Lupin, Percy, George, Molly, dan Jean Granger sampai keluar rumah untuk melihat apa yang terjadi.

“Ada apa ini?” tanya Ron melihat putra dan putrinya tertunduk diam.

“Mereka pergi ke Malfoy Manor tanpa ijin kami, Ron.” Hermione menjawabnya dengan suara parau.

“Apa?! How dare you? James! Albus! Lily! Beraninya kalian?” Harry membentak putra dan putrinya.

James yang dari tadi tak sabar untuk mengutarakan pendapatnya, “Keluarga Malfoy kan sudah berdamai dengan kita, Dad, Mom.” Membuat Harry semakin emosi.

Ginny mengambil tindakan cepat sebelum Harry semakin menjadi-jadi, “Hold on, Harry.” Ujarnya sambil menghentikan langkah Harry.

“Daddy tak habis pikir dengan tindakan kalian..” ucap Percy pelan. Menatap kecewa Molly Junior dan Lucy.

“Aku serahkan semua ini pada mom kalian. Daddy angkat tangan bila menghadapi masalah in.” kata Bill sembari masuk kedalam kembali di ikuti oleh George, Percy, Ron, dan Harry.

Lupin sepertinya juga angkat tangan. Kemudian ia berbisik pada Tonks “Jangan galak-galak, honey.” ucapnya sambil menatap Teddy. Tonks tersenyum mendengarnya. Lalu Lupin kembali masuk kedalam.

Hermione mengambil nafas dalam-dalam. Kemudian bersiap untuk memberi penjelasan “Anak-anak, kalian pasti tahu kalau keluarga Malfoy sudah lama berdamai dengan kami. Tapi, asal kalian tahu, kami belum percaya sepenuhnya dengan keluarga Malfoy. Kami takut, permintaan perdamaian itu seperti jadi umpan untuk kita agar keluarga Malfoy bisa menceritakan kelemahan-kelemahan kita pada Death Eaters apabila kita mulai larut dalam kebaikannya yang palsu itu.” Ujar Hermione. Ia mengambil nafas lagi. Menoleh pada Ginny, Fleur, Audrey, Tonks dan Angelina. “Kalian semua. Kami hukum!” kata Hermione mantap.

“Tapi, Mom! Biar aku saja yang dihukum. Jangan saudara-saudaraku. Mereka tak salah.” Sanggah Rose dengan suara sedikit bergetar. Ia berusaha sekuat mungkin agar air matanya tak jatuh membasahi pipinya.

“Tidak. Keputusan kami sudah bulat. Tak perduli siapa yang memulai. Kalian semua harus dihukum.” Ucap Fleur tak kalah tegas dengan Hermione,

“Maafkan kami, nak. Kalian harus dihukum agar tak melanggar lagi.” Kata Angelina lirih.

“Grandma.. Bantu kami. Bujuk orang tua kami, grandma..” kata Teddy memohon pada grandma Molly dan Jean Granger agar membantunya.

Molly dan Jean tak kuat menatap mata yang dulu berbinar kini mulai sayup itu. Mereka tak mampu berkata apa-apa lagi. Hanya menggeleng tak tega.

“Cepat kembali ke kamar! Kalian tak boleh keluar rumah ataupun kamar meski hanya satu meter. Kalau sampai hukuman ini kalian langgar, kalian akan mendapatkan hukuman yang lebih besar lagi.” Ucap Ginny.

“Mom! Biarkan aku saja yang dihukum! Jangan saudara-saudaraku..” sergah Rose. Ia kembali menatap mata teduh dari mommynya itu. Hermione mengalihkan pandangannya. Karena ia tahu, menatap mata putrinya itu pasti membuatnya merubah keputusan.

“Kak Rose.. kami tak apa-apa kok.” Kata Lily mendekat ke arah Rose lalu merengkuh pundak Rose.

“Iya kak, ini salah kami juga kok.” Kata Hugo polos.

“Kami yang nakal, padahal kan kak Rose sudah melarang kami untuk pergi. Jadi ini sepenuhnya salah kami.” Sambung Molly. ia juga merangkul pundak Rose diikuti saudara-saudaranya yang lain. Rose tersenyum haru. Ia beruntung memiliki saudara seperti mereka.

“Kalian jahat dengan kami! Aku benci kalian yang langsung memberi keputusan seperti itu.” Kata James ketus. “Ayo adik-adik! Kita ke atas. Kita laksanakan hukuman payah ini.” Ajak James membuyarkan suasana haru tadi.

“Oke kak James! Kita laksanakan hukuman payah ini. Hahaha. Payah payah.. payah payah.” Fred junior meledek ke ibu-ibu muda tadi. Kemudian ia menarik saudara-saudaranya masuk ke kamar agar tak kepanasan lebih lama lagi. Sudaranya mengikuti langkahnya. Tanpa kecuali.

“Payah?” pikir Hermione sarkartis. Ginny, Fleur, Audrey, Tonks, dan Angelina mengangkat bahu bersamaan. Mereka masuk ke dalam the burrow meninggalkan Hermione yang tanpak tak terima dengan ejekan James dan Fred tadi. Detik kemudian ia segera masuk ke dalam sambil tetap berpikir menginggalkan Molly dan Jean Granger yang masih berdiri didepan sana.

*

“Hmmmphhff..”

“Kamu kenapa Ly?” tanya Albus yang sedari tadi melihat tingkah adiknya itu menahan tawanya.

“Tau nih. Kamu kenapa sih, Ly?” tanya Hugo juga sembari membersihkan tempat tidurnya dari baju-baju.

Lily mengumpulkan kekuatan agar bisa berhenti tertawa. “Aku tadi lagi bayangin muka konyolnya kak James sama Fred waktu bilang hukuman payah ke aunty Hermy! Hahahahaha. Konyol banget! Gak nahan. Sampai aunty Hermy kayak gak terima gitu diledekin. Hahahaha..” Lily tetap mengakak tak peduli dengan tatapan sinis dari saudara-saudaranya.

“Buahahahahahahaha..” tawa itu seraya memenuhi ruangan itu. Tawa serempak dari anak-anak SEGER mengikuti Lily. Lily langsung diam. Merasa cengo dengan tawa saudara-saudaranya tadi. Telat banget ketawanya, batin Lily.

“Udah, udah. Sekarang kita ngapain? Biar gak bosen dikamar mulu.” Tanya Rox mengganti topik.

“Masak-masakan aja gimana?” usul Molly. “Aku punya alatnya kok. Siapa mau??” lanjutnya berseru.

Krik krik krik.

“Molly, masa’ masak-masakan? Kita kan cowo masa harus ikut sih? Najong tau.” Cibir Teddy.

“Kamu jadi suaminya Vic, Ted. Kamu gak perlu ikut masak-masakan, biar Vic aja yang buat makanan untuk kamu.” Kata Lucy polos.

Victoire merasakan mukanya memanas. Teddy berusaha membantah perkataan Lucy tadi. Seketika ruangan kecil itu meledak akan tawa lagi. Dasar Vic dan Teddy. Lucu banget sih.

“Enggaak. Apaan sih Lucy! Fitnah ituu.” Bantah Vic. Lucy hanya menyengir tak berdosa.

“Kak Rose?” ucap Hugo. Rose tak menanggapinya. Ia melamun, melihat keluar jendela.

“Ly, coba hibur kak Rose dong. Masa dari tadi kita ketawa, kak Rose Cuma diam aja?” usul Hugo sambil tetap membersihkan pakaian yang masih tersisa diatas tempat tidurnya. Lily mengangguk. Kemudian ia beranjak mendekati Rose yang masih melamun itu.

“Hei.” Kata Lily menepuk pundak Rose. Pelan. Tapi tidak bagi Rose. Ia terpenjat kaget mendapat tepukan itu. “Eh? Lily?” kata Rose kelagapan.

“Kakak kenapa?”

Rose menundukkan kepalanya. Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang, yah, cukup sulit untuk dirinya saat ini. Detik kemudian, ia mendongak lagi, menatap keluar jendela. “Do you see that birds?” tunjuknya disalah satu pohon yang dihinggapi dua burung merpati.

“Yep. Why?” tanya Lily yang masih tak mengetahui maksud Rose menunjuk burung itu.

“Aku ingin menjadi burung itu. Flying free without load.” Jawab Rose berandai-andai. “Kenapa Tuhan ciptakan aku berpasangan dengan Scrop kalau pada akhirnya hubunganku dengannya hanya akan membawa masalah.”

“Kak Rose.. bukan gitu. Mungkin Tuhan menakdirkan kakak dengan Scorp untuk alasan lain. Mungkin saja, Tuhan ingin keluarga kami tak bermusuhan lagi seperti dulu dengan keluarga Malfoy.” Ujar Lily seraya menghibur Rose. “Sudahlah kak, jangan dipikirkan. Kita belum dewasa loh, hehe.” Sambungnya.

“Iya kamu bener Ly. Kita kan masih kecil? Ngapain mikirin hal itu ya?” kata Rose seperti orang yang kehabisan akal. Hanya karena sebuah cinta monyet, bisa membuat akalnya tak karuan seperti ini. “Lalu, bagaimana antara kau dan.. Lysander?” tanya Rose.

Lily tersipu. “Aku dan Lysander Cuma berteman kok, gak lebih..” ucapnya malu-malu.

“Rose? Kau menyimpan sebuah buku kuno?” tanya James dari kejauhan. Terpaksa, Rose menghentikan pembicaraannya mengenai Lysander dengan Lily.

“Tidak. Ada apa, James?”

James menatap Rose bingung. Lalu? Ini buku siapa? Tanyanya dalam hati sendiri. “You sure?”

“I’m totally sure, James.” Jawab Rose mantap.

“This is not yours?” tanya James lagi sambil mengangkat buku itu tinggi-tinggi agar bisa dilihat oleh Rose.

“Bukan. Itu bukan punyaku. Sungguh.” Jawab Rose. Ia beranjak dari tempat tidurnya. Mendekati James. Ia mengambil buku itu. Saudaranya mengikuti Rose dari belakang. Mereka juga penasaran dengan buku apa yang ditemukan oleh James.

“SEGER’S ADVENTURE.” Rose membaca judul yang tertera didepan buku itu. Judul yang aneh, batinnya.

“Buka Rose!” celetuk Albus diselingi oleh tatapan tajam dari Molly dan Lucy.

“Albus bener. Buka aja kak Rose!” kata Vic setuju.

Rose bingung. Apakah ia akan membukanya atau tidak. Ia menoleh kearah James. James yang ditatapnya membalas tatapan Rose pasrah. “Baiklah, akan kubuka.” Katanya.

Buku tebal itu dibukanya perlahan. Banyak debu yang berhinggap disana. Membuat Rose dan saudara-saudaranya sesekali bersin apabila debu kecil itu menusuk penciuman mereka.

Entah apa yang terjadi. Seperti sedang ber-apparate ke suatu tempat. Tubuh mereka seolah ditarik oleh buku yang dibuka oleh Rose. Semuanya seperti sihir. Dan mereka yakin, ini pasti sihir. Saat tubuh mereka ditarik semakin dalam, mereka semua menjerit takut. Karena tarikan itu membuat mereka kaget juga kesaktitan. Seperti menaiki sebuah Roller Coaster, tak ada kata yang bisa terucap selain menjerit.

Benar dugaan mereka. Mereka ber-apparate ke suatu tempat yang sangat asing dipenglihatannya. Lebih seram dari hutan terlarang.

“Kita dimana kak Rose?” tanya Hugo yang langsung bediri dari duduknya. Membersihkan tubuhnya dari dedaunan yang kering.

“Entahlah, aku juga tak tahu.” Jawab Rose seadanya. Seperti yang dilakukan Hugo, ia membersihkan tubuhnya dari daun-daun kering.

“Coba kesini deh.” Kata Albus yang sudah berada diatas pohon.

“Kak Al? ngapain disitu? Ada apa sih?” tanya Fred penasaran.

“Iya, ada apa sih? Bikin penasaran aja.” Teddy ikut-ikutan.

“Makanya, kalau penasaran, lihat sini ajaa.” Rajuk Albus. Sesaat, Teddy dan Fred saling bertatapan. Kemudian segera naik ke atas pohon dengan girang, karena tak ada lagi yang bisa melarangnya naik pohon saat ini. Siapa lagi kalau bukan ibunya.

“Teddy. Hati-hati dong. Jangan buru-buru! Awas jatoh. Aduh kau ini. Aaah.” Kata Vic perhatian. Domy menatap kakaknya bingung. Sedangkan Molly, Lucy, Lily, Rose, dan Rox cekikian melihat tingkah Vic. Vic tak peduli, yang ada dipikirannya saat ini hanyalah Teddy. Ia takut Teddy jatuh.

“Tenang, Vic! Aku sudah diatas dengan selamat kok.” Seru Teddy sambil melambai.

“Keatasnya selamat, kalau turun gak selamat gimana dong?” cibir Vic pelan diikuti tawa dari Molly, Lucy, Lily, Rose, Rox, Dominique, dan Louis. Lagi.

“Apa Vicc?? Gak kedengeraaaan.” Teriak Teddy.

“Eh? Bukan apa apaaa.” Jawab Vic dengan teriak juga.

Lily melihat kakaknya, James, bersama dengan Hugo berjalan mendekati sebuah semak-semak. Ia menyenggol pelan bahu Rose. Rose seakan tahu apa yang dimaksud Lily. Mereka berdua mengikuti James dan Hugo dari belakang.

“Kak James! Hugo!” seru Lily sembari menepuk pundak James dan Hugo secara bersamaan.

Hugo dan James mengelus dadanya. Seruan Lily tadi membuat keduanya benar-benar kaget.

“Apa yang kalian lakukan disini?” tanya Rose lirih.

“Kak James mendengar suara sesuatu. Seperti orang yang sedang makan.” Jawab Hugo disertai tatapan kaget Lily dan Rose.

“Hugo bener. Untung tadi yang nepuk pundak kami itu kalian. Bukan pemilik suara aneh itu.” Kata James sedikit lega.

“Udahan yuk kak! Kita pulang aja, nanti mom Ginny marah..” usul Lily. Rose dan Hugo mengangguk setuju, tak seperti James yang tampaknya sedang ingin sekali berpetualang.

“Pulangnya lewat mana?” tanya James mencari alasan untuk memperlambat waktu.

Belum sempat terjawab. Tiba-tiba suara aneh yang terdengar oleh Hugo dan James terdengar semakin mendekat dengan mereka. Hugo dan James mendekat kearah Lily dan Rose. Mereka berempat merapat. Kali ini benar-benar takut.

“Who are you?” seorang pria tua berjanggut putih muncul dihadapan mereka. Rambutnya panjang dibawah bahu, berwana perak, tampak sedikit berantakan. Rambut putih keperakan miliknya itu dibiarkan terurai panjang tak terurus.

“Profesor Dombledore?” terka Rose. “Iya. Aku yakin kau pasti professor Dumby! Tapi, bukannya kau telah meninggal saat tahun ke enam mom dan dad bersekolah di Hogwarts?” tanya Rose tak yakin.

“Iya, aku memang Dombledore. Tapi aku masih hidup. Mommy kamu? Siapa?”

“Hermione Jean Granger dan Ronald Billius Weasley.” Jawab Hugo kali ini dengan suara tenang.

“Hermione? Ron? Apakah kau Rose dan Hugo?” tanya Dombledore ragu. Tapi, Rose dan Hugo segera mengangguk karena jawaban Dombledore memang benar. “Lalu, kau pasti James? Anak Harry. Right?” Dombledore beralih menatap James.

“You’re right, sir.” Ucap James.

“Lalu dia pasti Lily Luna?” Lily menangguk mendengar namanya disebut.

“Darimana anda bisa tahu, Prof?” tanya Rose curiga.

“Aku tahu. Karena kalian sudah ditakdirkan untuk menolong Hogwarts dari serangan Death Eaters dan Voldemort.” Ujar Dombledore.

“Bukankah Voldemort telah mati? Dan bukankah Death Eaters sudah damai dengan semua penyihir?”

“Didunia kalian memang begitu. Tapi dalam buku ‘Seger’s Adventure’ tidak. Semuanya masih kacau. Kalian pasti tahu apa arti daripada Seger’s Adventure kan? Yah. Petualangan second generation. Kalianlah para second generation yang menjadi tokoh utama dalam cerita ini.” Kata Dombledore.

“Dimana mom and dad? Mengapa mereka tak bertindak?” tanya Hugo semakin penasaran.

“Sorry, I can’t tell you. Kalian harus mencari tau itu sendiri. Tapi berhati-hatilah, tempat ini berbahaya.” Kata Dombledore sambil tersenyum hangat agar bocah yang ia hadapi tak tegang. Semua menangguk.

“Hei! Apakah anda Albus Dombledore?” tanya seseorang dari belakang sambil berlari diikuti oleh anak-anak yang lain.

“Iya. Kau benar, Albus Severus.”

“Waw. Darimana anda bisa tahu namaku?” tanya Albus lagi. Dombledore tak menjawabnya. Beliau hanya tersenyum.

“Waw. Professor Dombledore. Kau begitu nyata. Padahal selama ini, aku hanya bisa melihatmu dari lukisan-lukisan yang terpajang di dinding-dinding Hogwarts.” Ujar Molly Junior kagum.

“Ingat James, Albus, Lily, Rose, Hugo, Victoire, Dominique, Louis, Teddy, Molly, Lucy, Fred, dan Roxanne, kalian harus selamatkan Hogwarts. Hogwars dalam bahaya. Semoga berhasil.” Setelah mengucap kalimat tersebut, Dombledore menghilang. Pasti ber-apparate kesuatu tempat.

Anak-anak second generation sebagian mengangguk dan sebagian bingung setelah sosok Dombledore hilang. Kemudian, James, Lily, Rose, dan Hugo segera menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada saudara-saudaranya yang belum tahu. Mereka cepat tanggap dan segera menyimpulkan, Hogwarts had to be rescued.

-To be Continued-

Cerita pertama saya tentang Harry Potter. Jadi, beginilah jadinya. Rada aneh, tapi komentar dan sarannya sangat dibutuhkan =]

Impiannya, Impianku [Cerpen]


Impiannya, Impianku.

Lyna berlari kencang meninggalkan rumahnya. Membuka pagar rumahnya tanpa mentupnya kembali. Ia berlari lebih kencang lagi. Wajahnya dihiasi oleh cairan bening yang bercucuran semakin deras. Lyna tak menyekanya, ia membiarkan air mata itu beradu dengan angin malam yang membuat tubuh mungilnya itu menggigil.

Lyna berhenti berlari ketika danau didekat rumahnya itu menatapnya tenang, beda sekali dengan dirinya yang saat ini sedang berontak, ia merutuk dirinya sendiri. Lalu, ia mengambil sebuah kerikil yang berserakan tak jauh didekat kakinya. Melemparkan kerikil itu ke arah danau dengan sekuat tenaga, “Berhenti samain gue!!” teriak Lyna. Ia menghempaskan tubuhnya ke tanah berumput itu. Menekuk lututnya. Masih terisak.

“Danau dan gue aja beda. Sekuat apapun dan sebesar apapun batu yang gue lempar ke dalamnya, gak akan bisa merubahnya sama berontaknya kayak gue.” Tangis Lyna. “Gue juga. Gue gak bisa sama seperti danau yang sedang tenang itu. Karena satu alasan, danau itu bukan gue.”

Tiba-tiba saja setangkai mawar merah muncul dari belakang menghadap dirinya. Angin malam itu seakan terhenti. Ada selimut awan yang tanpa sadar telah menghangatkan tubuhnya. Ia merasakan seseorang telah melingkari tubuhnya dan memberikan atmosfir tentram disekitarnya.

Lyna menoleh ke belakang tubuhnya. Tepat saat ia menoleh, matanya yang penuh dengan air mata itu menatap langsung mata seseorang dibelakanganya tanpa terhalang apapun. Lyna menatap dalam mata itu, kemudian ia memeluk seseorang itu erat-erat.

“Lo kenapa? Cerita sama gue yuk.” Seseorang itu membalas pelukan Lyna. Ia mengusap pelan rambut gadis cantik itu dengan kasih sayang. Lyna mengendorkan pelukannya, “Thanks ya Ren. Gue emang butuh cerita ini semua ke elo.”

Reinald tersenyum tulus. Ia menyeka air mata gadis itu. Kemudian, ia duduk disamping Lyna. Jaketnya sengaja dilepasnya dan  dikenakannya untuk Lyna, karena ia tahu, Lyna lebih membutuhkannya daripada dirinya sendiri. Reinald sengaja merangkul pundak Lyna, mendekapnya, mencoba menenangkannya. Isak gadis itu masih terdengar ditengah keheningan.

“Udah, jangan nangis. Bunga ini buat lo. Jangan nangis yaa. Gue gak mau kalau lo sampe nangis kayak gini.” Lyna mengangguk, mengambil setangkai mawar itu.

“Ren, emang gue salah ya? Kalau gue itu beda dari kakak gue?” tanya Lyna memulai pembicaraanya.

Reinald meruncingkan matanya, “Maksud lo, kak Icha?”

“Iya. Kak Icha. Gue akuin kalau dia itu multitalent. Bisa main musik, model, cantik. Tapi, gue gak harus jadi dia kan?” Reinald hanya terdiam. Lyna menutupi mukanya dengan kedua tangannya. “Mama dan papa nyuruh gue buat ikutan kelas modeling, biar kayak kak Icha. Padahal, lo kan tahu sendiri kalau gue itu paling anti sama yang berbau ‘Model’” Lyna menekan kata model dengan suara yang lebih tinggi. Reinald terkekeh. Lyna melepaskan kedua tangannya dari mukanya. Ia menatap heran ke Reinald. “Kenapa lo?” tanya Lyna ketus.

“Hahaahaha, gue tahu kenapa elo benci sama model. Pasti gara-gara waktu lomba Fashion Show kelas 2 SD. Kala itu lo jatuh di red carpet soalnya lo injek gaun lo sendiri. Huahahaha, lo lucu banget Lynaaa..” Reinald tertawa terbahak-bahak.

“Ya gak usah diinget sampe segitunya kali, Ren.” Lyna tersipu. Ia malu mengingat-ingat kejadian itu.

“Maaf, maaf. Hahaha.” Kata Reinald dengan sisa-sisa tawanya. “Terus sekarang gimana?”

“Gimana?” Lyna bingung dengan apa maksud Reinald “Gimana apanya?” ia berbalik tanya.

“Malah balik nanya. Ya gimana? Lo mau pulang atau tetap disini?”

Lyna baru ingat bahwa tujuannya mengajak Reinald untuk tetap tinggal adalah memberikan solusi tentang masalahnya. Bodoh, ada apa dengan pikiranmu, Lyna. Rutuknya dalam hati. “Gue mau tetap disini.” Jawabnya singkat.

“Na, sekarang mendingan lo pulang deh. Kasihan orang tua lo, kakak lo, lo sendiri.  Sekarang lo coba jujur deh sama orang tua lo—“

“Tapi, Ren—“

“Ssst. Gue belum selesai! Jangan dipotong.” Kata Reinald sebelum diprotes Lyna lebih dalam. Lyna segera bungkam.

“Gue tahu, mungkin lo udah bilang berkal-kali sama mereka. Tapi, mungkin juga, mereka cuman mau yang terbaik buat lo. Lo pikir, acara kabur dari rumah bisa menyelesaikan semua masalah? Enggak. Lo salah, Na. sekarang mendingan itu lo pulang, minta maaf sama mereka, terus tidur, terus bagun, dan terus lo buktiin sama mereka kalau lo lebih unggul dalam urusan fotografer daripada modeling. Kalau lo Cuma ngoceh mempertahankan keinginan lo sebagai fotografer professional ke mereka tanpa ada bukti, haha, lo gak ada apa-apanya dibanding dengan kak Icha.”

Lyna terdiam sejenak. Menyusun kembali kata-kata Reinald yang susah dicerna oleh otaknya. Ia segera sadar, bahwa sebenarnya omongan cowok disebelahnya ini ada benarnya juga, Lyna tersenyum. “Makasih saranyaa..” kemudian ada suatu dorongan yang membuat Lyna memeluk tubuh kekasihnya sekali lagi.

“My pleasure, Na.” ucap Reinald membalas pelukannya.

-

Sebulan setelah kejadian itu..

“Naaa. Sini deeh..” Andine, teman Lyna menarik lengan gadis itu kuat-kuat. Lyna menoleh sekilas, kemudian Lyna menghentikan obrlannya dengan Reinald barusan.

“Bentar ya, Ren.” Ujarnya pada Reinald. Reinald tersenyum, mempersilahkan Lyna untuk pergi dengan Andine.

“Kenapa deh, Din?” tanya Lyna sambil mengikuti arah tarikan dari Andine. Andine tak menjawabnya, ia hanya diam sambil tersenyum jahil. Itu membuat Lyna semakin penasaran dengan apa yang akan ditunjukkan oleh Andine padanya.

Ruang Kepala Sekolah. Ya, ruangan itu. Andine membawa Lyna kesana. Entah untuk alasan apa.

“Misi bu.” Ucap Andine sopan setelah mengetuk pintu sebanyak tiga kali.

“Masuk.”

Andine dan Lyna segera membuka pintu, kemudian masuk ke ruangan full AC itu “Ini yang namanya Alyna Sastra Umari, bu.” Kata Andine menyebutkan namaku lengkap, tunggu, aku salah apa? Pikir Lyna tak karuan.

“Oh. Duduk disini, Lyn.” Kata Ibu Grace mempesilahkan Lyna duduk. Dengan sedikit kikuk, Lyna segera menarik kursi didepannya dan mendudukinya. “Dan untuk kamu, Andine, saya pesilahkan keluar dari ruangan saya. Saya hanya butuh bicara empat mata dengan Alyna. Terimakasih juga buat bantuannya ya.” Lanjut Ibu Grace sopan. Andine mengangguk sembari tersenyum, lalu ia pergi dari ruangan ini, meninggalkan Lyna sendiri dengan Ibu kepala sekolah itu.

Lyna tertunduk takut. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya sendiri sambil mengingat-ingat apa kesalahan yang tak sengaja ia perbuat.

“Alyna Sastra Umari,” kata Ibu Grace, membaca nama lengkap Lyna sekali lagi dari kertas putih ditangannya, entah kertas apa.

Lyna mengangguk pelan. Tenang Na, jangan panic, lo gak pernah berbuat onar disini, jadi lo gak perlu takut. Gerutunya dalam hati.

“Sebulan lalu, kamu ikut lomba fotografer terbaik tingkat Nasional, bukan?” tanya Ibu Grace.

“I.. Iya bu. Ada apa, ya?”

“Begini, Ibu baru mendapat kabar bahwa kamu terpilih menjadi salah satu pemenang se DKI Jakarta. Saat hasil jepretan kamu diadu kembali dengan hasil jepretan pemenang dari provinsi lain, kamu terpilih menjadi the best one. Dan dapat kesempatan pergi ke Amerika Serikat untuk sekolah Fotografer setelah Ujian Nasional dilaksanakan. Selamat ya.” Kata Ibu Grace sambil menyerahkan kertas putih ditangannya kepada Lyna.

Lyna terdiam lama sambil mengambil kertas putih dihadapannya. Lyna ingat. Saat itu, Reinald yang memaksanya untuk ikut, meskipun dirinya sendiri sangat tak percaya diri dengan hasil jepretannya kala itu. Setelah karya itu dikirim, Lyna tak pernah berhenti untuk memikirkan hasilnya. Dan ia terus berfikiran pesimis, bahwa ia tak akan menang. Tapi, Reinald mendorongnya untuk tetap bersikap optimis.

Ini seperti mimpi. Batin Lyna masih belum percaya. Tapi, percaya tak percaya, ini adalah sebuah realita. Kenyataan. Ia sendiri tak tahu bagaimana harus berekspresi. Yang jelas, saat ini Lyna sangat bahagia. Tolong tekankan. Sangat. Bahagia. “Terimakasih banyak, buu..” pekiknya pelan. Ia menahan suaranya agar tak keluar terlalu berlebihan demi menghormati Ibu Grace.

“Yasudah. Silahkan keluar.” Ucap Ibu Grace ikut senang. Lyna mengangguk dan beranjak pergi dari ruangan itu. Setelah menutup pintu Ruang kepala sekolah, Lyna mendapati Andine dan Reinald dihadapannya. Dipeluknya sahabat dan pacarnya itu secara bergantian.

“Lo kenapa, Na? seneng banget kayaknya.” Kata Reinald keheranan. Andine pun sepertinya berpendapat sama dengan Reinald.

“Gue dapet beasiswa Sekolah Fotografer di Amrik! Gue, gue, gue.. Ah, gue seneng banget, guys!! Gue gak nyangkaa.” Seru Lyna.

“Seriusaan?” Andine melongo. Nampak tak percaya.

“Serius, Diinnn.” Jawab Lyna sumringah.

“Selamat ya, Na. lo pantes jadi yang terbaik.” Ujar Reinald seraya menepuk puncak kepala Lyna.

Lyna tersipu malu, “Thanks ya, Ren. Ini juga berkat pemaksaan dari elo. Hehe.” Katanya.

“Ciee Lynaa, selamat yaa.” Andine memeluk sahabatnya itu. Ia terharu, sampai cairan bening dimatanya meluncur keluar begitu saja.

“Jangan nangis dong, Din,” ucap Lyna sambil membalas pelukan sahabat dekatnya itu. “Itu juga berkat do’a kamuu. Makasih ya.” Lyna berusaha menghibur Andine.

“Iya Na, sama-sama.” Andine melepas pelukannya. Lalu menyeka kedua pipinya yang basah akan air mata itu.

“Kapan lo berangkat?” tanya Reinald mengganti topik.

“Seminggu habis UN selesai, Ren.”

-

@Bandara

Ujian Nasional tingkat SMA sudah berlalu. Seminggu sesudahnya adalah hari dimana Lyna harus pergi meninggalkan tanah air. Hari-hari sebelumnya seakan cepat berlalu, membuatnya semakin berat meninggalkan Indonesia. Ada rasa senang yang menyelubungi batin Lyna, dan ada rasa pedih yang mulai mengalir dalam darahnya karena harus meninggalkan orang yang ia sayang dalam jangka waktu yang cukup lama.

“Walaupun untuk mencapai impian itu kamu hanya sendiri, orang yang mempunyai impian, tak akan pernah merasa kesepian.” Ucap Reinald memberi semangat pada Lyna. Kedua pasangan itu berpelukan cukup lama. “I’ll be waiting for you. Sukses ya, Na. Aku sayang kamu.” Bisik Reinald sembari melepas pelukannya.

Setelah itu, Lyna berganti memeluk keluarganya. Keluarganya juga mulai sadar, bahwa mereka tak berhak untuk mengatur masa depan Lyna. Keterharuan. Ya, saat ini adalah saat yang mengharukan.

Kini waktunya Lyna untuk benar-benar pergi, menggapai impiannya walau sebenarnya ia merasa kehilangan. Tapi ia tersadar oleh kata-kata Reinald. Bahwa orang yang memiliki impian, takkan pernah merasa kesepian. Ya, aku percaya itu. Batin Lyna melangkah lebih ringan.

Cerita Indomie versiku u,u


Ini Kisahku (Indomie)

Dare dari Sirius Black. Maaf mengecewakan karena saya bikinnya pake mikir, gak sepontan kayak waktu itu. Yang gak suka, gak usah dibaca. Terimagaji =)

===

Waktu malam hari, papa sering bangunin aku buat nonton bola sambil makan indomie. Tapi, suasananya sangatlah berbeda semenjak keluarga kami lupa belum bayar listrik. Jadi, kami tak bisa makan indomie malam ini, karena tv kami mati.

Hari ini adalah hari minggu. Aku dan papa berencana untuk membayar tagihan listrik agar kami bisa nonton bola sambil makan indomie kembali.

Setelah proses pembayaran selesai, listrik rumah kami pun kembali menyala. Kami sangat senang melihat kejadian ini karena kami bisa makan indomie tengah malam nanti.

Malam pun tiba. Seperti biasa, papa membangunkanku untuk menonton bola. Dengan sisa-sisa kesadaranku, aku berjalan ke dapur untuk membantu papa memasak indomie.

Entah ini hanya halusnasi atau tidak. Yang jelas, aku melihat papa sedang menari poco-poco. Kemudian beliau beratraksi dengan menggigit sutil erat-erat, lalu beralih mengambil panci. Tak tahu apa salah panci itu, papa memukulinya menggunakan kepalanya sekeras mungkin.

Aku mendekat ke arah papa. Mencoba menghentikan tingkahnya yang sangat menyakiti panci itu, “Cukup sudah, kau sakiti panci ini..” kataku sambil berusaha tegar melihat kejadian tragis itu. Papa menghentikan tingkahnya, lalu meletakkan panci itu ditempatnya lagi.

“Apa yang terjadi pada dirimu, papa?” tanyaku.

Papa menggelengkan kepalanya, menutup mulutnya menggunakan sebelah tangan, dan menangis manja sembari menunjuk kardus indomie dimeja.

Aku mendekati kardus itu, mengintip apa isi yang sebenarnya. Indomie kami habis. Pantas saja, papa nekat berbuat seperti itu. Aku mencoba membuka hati papa agar bisa menerima kenyataan pahit ini. Ya, kenyataan bahwa kami tak bisa makan indomie untuk yang kedua kalinya.

Aku dan papa bela-belain pergi jauh ke Belanda Cuma buat beli Indomie pagi itu. Betapa bahagianya kami setelah sampai disana dengan menggunakan perahu napan. Kemudian kami berhenti di sebuah supermarket diseberang laut. Kami tahu ini mustahil, tapi supermarket itu benar-benar ada. Kami pun membeli banyak Indomie, sekalian untuk berjaga-jaga bila habis tak tepat pada waktunya. Kami segera pulang untuk memasaknya dan betapa nyeseknya saat mengetahui bahwa warung depan rumah kami mengetahui bahwa warung depan rumah kami juga jualan Indomie.

Ini ceritaku. Apa ceritamu? =)

Labil ^-^


Hai.. Emm, entah kenapa hari ini pengen banget nulis sesuatu diblog :D Daripada ini blog sepi jadi makin sepi, so aku bakalan mengisi kekosongan dihalaman blogku dengan ke garingan.. Cukstaw~

Hai gini masih liburan? Basi deh. Tahu gak? Aku menghabiskan  waktu untuk liburan itu sudah 1 bulan setengah. How a bored it is! Sekarang, kegiatan aku adalah bingung milih SMA. Secara, nilai jatuh banget. Dibawah rata-rata. Mau tahu berapa? Yakin? Really? Awas kalau kalian pada shocked! Okelah, nilai aku 32,15 dan nilai akhir aku 32,75. Meskipun naik tinggi yaaa ini tetep aja kepalanya masih 32. kagak naik-naik kek. Kali aja naik jadi 35 dan saya tahu itu sangat amat mustahil.

Kalian mau tahu apa kata orang tua saya? Good. “Nilaimu bagus mbak, masuk SBI aja..” JLEB. PLAK. Kalian pasti tahu kan, apa singkatan daripada SBI? Yap. Sekolah Berstandart Internasional. Haloo? Abi? Umi? Kacamatanya kayaknya itu minnya tambah dehhhh.. secaraaaaa, danem segitu mana keterima di SBI -_-

Keesokannya aku sama temen-temen disuruh datang ke sekolah buat cap 3 jari. Terus aku sama temen-temen pada bicarain tentang SBI, dan aku dapet info dari Adinda temen sekelasku kalau SBI itu nilai kita gak boleh ada yang dibawah 7,5. dan katanya danem itu udah gak berlaku lagi, yang laku itu nilai akhir. Oh god, thanks. It’s mean, aku bisa ikut SBI soalnya nilai akhirku gak ada yang dibawah 7,5.

Abi saya mendukung dengan semangatnya. Saya seneng.

Kapan lagi masuk sekolah, temen saya intan bilang, kalau tes SBI harus menguasai sebagian materi SMA dan kuliah. Alamak. Langsung nggeblak aku. Secara, intan udah ada persiapan dari dulu banget buat ikutan tes SBI, sedangkan saya, baru tahu sekarang. Disaat intan udah mulai menguasai semua materinya. How a poor I am -__-

Oke, cukstaw deeeeh, saya kagak mau ikutan tes SBI meskipun jaminannya bisa masuk yang regular. Ampun, ampun, terimakasih banyak, cukup sampai disini. Aku langsung curhat sama orang tua setelah tahu itu. Dan mereka malah ikutan bingung -_-

Terus, abi bilang aku mau ditaruh pesantren, bukan karena nilai aku gak cukup sih yaa, karena aku juga mau ngembangin ilmu Al-Qur’an yang udah aku dapet dari my papa. Pesantrennya khusus buat yang mau hafalan al-Qur’an. Jadi, itu bukan pesantren sembarangan. Terus jaminan masa depan juga udah ada jalannya. Tinggal hafalan Qur’an doang sih, minimal 20 jus selama 2 tahun.. Nyammm..

Entah dari siapa pintu hati aku tiba-tiba terbuka selebar lebarnya untuk menerima kenyataan bahwa aku akan dimasukkan pesantren, padahal, aku mah “BIG NO” masalah jauh dari jangkauan orang tua. Oke, saya mulai berfikir dewasa. Aku mau jadi orang sukses, aku mau orang tua aku bangga, aku mau orang tua aku dapet hasil yang memuaskan karena diriku. Saya rela deh jauh dari mereka karena kita harus bersakit sakit dahulu dan bersenang senang kemudian. Karena aku juga anak pertama, jadi wajib hukumnya buat nyontohin kebaikan sama adik-adik saya yang nyebelin itu J

Segitu dari saya. Sampai jumpa di postingan berikutnya. Cukstaw~ Lo Gue End (?)

Rencana menonton film =D


Hai. Hehe. Saya nulis sesuatu yang dibilang gak nggenah di blog. Daripada blog kayak kuburan dan sepi krik krik krik begini, mending saya isi dengan hal-hal yang tabu.

Emma Rose Roberts. Panggilannya adalah Emma Roberts. Kalian pasti tahu kan? Ya. Artis cantik yang banyak membitangi pilem Hollywood ini bertahun-tahun lalu menjadi idola dihati saya. Sekarang juga kok, soalnya saya habis bernostalgia melihatnya beradu acting dengan Alex Pettyfer di film Wild Child. Hehe..

Gak tahu nih saya mau bahas masalah Em atau filmnya yang Wild Child. Tapi sepertinya saya tertarik bahas flmnya deh =]]

Film ini tergolong film lama sih sebenernya ._. *ketahuan katro* tapi aku tetep suka! Baik pemerannya, jalan ceritanya, lokasinya. aduh masih menempel dibenak saya #plak XD

Filmnya itu menceritakan anak cewek bernama Poppy Moore yang nakalnya minta ampun itu! Semenjak mamanya meninggal, dia jadi nakal karena Cuma tinggal sama adeknya tercinta sedangkan ayahnya lebih banyak keluar kota.

Suatu hari, Poppy punya masalah besar dan papanya gak mau maafin dia. Masa ya, dia itu beli baju buanyak, sepatu buanyak, tas buanyak, HP buanyak, Cuma mau dibagi-bagiin ke temennya. Baik sih, tapi buat apa gitu? Toh temennya juga orang mampu semua? Batin papanya.

Dia dapet hukuman dari papanya bahwa dia harus bersekolah di asrama yang bernama “Abbey Mount” di England. Jauh dari rumahnya yang ada di Los Angeles. Asramanya besar, megah, tapi sayang, jadul. Mau tak mau, si Poppy nurut sama papanya.

Sampai disana, si Poppy itu dandanannya paling lebay dan modis banget. Sampai teman-teman sekamarnya bahkan satu sekolahnya itu ketenggengen ngelihatnya. Asal kalian tahu, si Poppy gak sebaik lagi kayak sama temennya di L.A itu, disini dia lebih sombong amit lah. Beruntung dia punya kawan satu kamar yang buaik banget! Jumlahnya 5 orang kalo gak salah. Atau 4 ya? Eh bomat ah.

Si Poppy itu jadi murid paling berani di Abbey Mount. Sampai-sampai Harriet (ketua Asramanya) dilawan sama dia. Setuju sih sama Poppy, habisnya si Harriet itu ngerasa paling gaul, padahal dia paling jadul disana -_-. Waktu kapan hari itu si Poppy gak kuat sama perlakuan Harriet. Dia pengen cepet-cepet keluar dari asrama itu, dan cara yang paling ampu adalah melanggar semua aturan sekolah. Yap. Poppy bener-bener melakukannya, tapi dibantu dengan kawan se kamarnya.

Beberapa minggu berikutnya ada pesta di asrama tersebut. Murid-murid Abbey Mount bebas berpesta asalkan pakaiannya yang sopan. Anda tahu? Si Poppy dan kawan-kawan pakai pakaian yang, yaaahh.. terbuka gitu. Si Harriet marah-marah. Ditambah Poppy mau menarik hati Fredie (Alex Pettyfer) dari tangan Harriet. Dan si Fred beneran kepincuk sama Poppy.

Salah satu hal yang dilarang dalam asrama ini adalah, tidak boleh pacaran. Yaah.. si Poppy melanggarnya lagi dan nekat memacari Fred (anak kepala asrama). Harriet yang tak terima kemudian memfitnah Poppy dengan cara membajak email Poppy. Poppy dimusuhi oleh teman dan pacarnya karena isi email tersebut sangat menyinggung hati teman dan pacarnya tersebut.

Suatu malam si Poppy duduk-duduk disekitar dapur sambil mainan korek milikknya. Tiba-tiba semburan api muncul dan untungnya Poppy berhasil memadamkannya. Poppy yang ketakutan segera berlari ke kamarnya.

Beberapa menit kemudian, dia melihat api dari jendela kamarnya yang semakin besar. Poppy bingung, padahal dia sudah memadamkannya. Tanpa pikir panjang, Poppy membangunkan seluruh asrama guna berjaga-jaga bila api membesar.

Saat bu Kepala Asrama mengabsen muridnya satu-satu, ada kawan Poppy bernama Dippy yang tak ada dalam barisan. Poppy tahu dimana ia berada. Didalam dapur, tempat kejadian kebakaran itu berlangsung.

Poppy menolongnya dan Dippy selamat.

Dan begitu seterusnyaaa #eh. Gak mau rebek ah. Kalau kalian penasaran ya monggo segera pinjem atau beli filmnya. Hehehe. Hanya saran, not promotion =]]

Senin, 13 Juni 2011

Berita Pada Kawan (Cerpen)


Berita Pada Kawan

Perjalanan ini, trasa sangat menyedihkan
Sayang engkau tak duduk disampingku kawan
Banyak cerita yang mestinya kau saksikan
Ditanah kering bebatuan..

Rio melihat tempat disekelilingnya. Sepi. Suasananya sama setelah bencana dahsyat itu melanda tempat tinggalnya 15 tahun lalu. Ia membuka pintu mobilnya. Mobil Yaris berwarna silver yang terkesan elegan itu dibiarkannya terparkir seadanya. Ia melangkah turun perlahan menyusuri tanah kering.

Rio berdiri didepan sebuah pohon yang sangat besar. Masih terlihat kokoh. Tapi, dedaunan hijau yang menghiasinya sudah tiada, menandakan bahwa pohon itu tak hidup lagi, melainkan mati.

Didekatinya pohon itu. Ia mencari secara detail setiap batang pohon itu sehingga ia menemukan sesuatu yang dicarinya. Sebuah ukiran nama dua orang sahabat yang telah tinggal dibatang itu bertahun-tahun lamanya. Ketemu. Rio tersenyum sembari mengelusnya pelan. Dibacanya tulisan yang diukir seorang bocah 15 tahun lalu. “Mario dan Alvin.”


***Siang itu, semua anak-anak kumpul disebuah lapangan yang besar. Hari itu hari sabtu, sekolah mereka libur. Jadi, yang berminat untuk bermain dilapangan luas ini sangatlah banyak.

Seorang bocah laki-laki duduk sendirian dibawah sebuah ayunan. Gerakan matanya mengikuti gerakan ayunan itu. Bocah itu tampak tak bersemangat. Dilihat dari mukanya yang kusut dan pandangan kosongnya.

Alvin menghentikan ayunan itu tiba-tiba. Membuat seseorang yang sedang memainkannya tadi terpenjat kaget. Ia menoleh kebelakang, tepat ke arah Alvin yang sedang menyengir tak berdosa. “Jangan ganggu aku, dong!” bentak bocah kecil itu.

Alvin diam. Merasa bersalah. Ia melangkah ke depan, menatap bocah itu. “Maaf ya. Aku Cuma bercanda. Lagian, kamu main ayunannya gak bersemangat! Gak asik.” Kata Alvin polos.

Bocah itu hanya diam. Masih kesal dengan perlakuan Alvin. Ia menunggu reaksi Alvin yang bosan menanti permintaan maafnya, karena saat ini bocah itu memang benar-benar tak bisa diganggu.

Meleset. Alvin tetap berdiri dihadapannya. Tangannya terulur perlahan melihat muka bocah yang diganggunya itu tetap tak perduli. Dalam hatinya, ia harus meminta maaf kepada seseorang sampai seseorang itu memaafkannya.

Bocah itu merasa tak nyaman dengan sikap Alvin yang tak mau pergi meninggalkan dirinya. Kalau begitu, biarkan aku saja yang pergi, batinnya. Kemudian, ia segera beranjak pergi dari ayunannya. “Aku mohon, maafin aku! Aku harus dapat maafmu, kalau tidak, aku tak boleh pulang.” Kata Alvin cepat sebelum bocah itu pergi menjauh.

Bocah kecil itu berbalik badan. Mengangkat sebelah alisnya. Menatap Alvin dengan tatapan menyelidik “Maksud kamu?”

“Kata papa, aku harus minta maaf sama orang yang udah aku ganggu sampai aku benar-benar mendapatkan maaf darinya. Kalau tidak, aku tak boleh pulang..” Alvin menunduk, kemudian mendongak lagi “Karena itu, maafin aku ya?”

Entah apa yang membuat bocah itu mendekat ke arah Alvin. Kemudian ia berhenti beberapa jarak dengannya. “Iya. Aku maafin kamu. Sekarang, kamu bisa pulang..” kata bocah itu tulus. Ia menepuk pelan pundak Alvin sambil tersenyum. Kemudian ia berbalik badan, meninggalkan Alvin yang tersenyum senang sambil bergegas melangkah untuk pulang.***


Tubuhku terguncang, dihempas batu jalanan
Hati bergetar menatap kering rerumputan
Perjalanan ini, seperti jadi saksi
Gembala kecil menangis sedih..

Kawan coba dengar apa jawabnya
Ketika dia kutanya mengapa
Bapak ibunya telah lama mati
Ditelan bencana tanah ini.

Rio tersadar akan lamunannya. Kemudian secara perlahan, cairan dari matanya menetes pelan. Mengingat kejadian itu seakan masih berlangsung kemarin.

Rio beranjak menuju sebuah akar raksasa disekitar pohon itu. Ia duduk disana. Melihat lapangan luas dihadapannya dengan cermat. Mencoba menghadirkan sosok sahabatnya disana.


***Ke esokan harinya. Alvin berjalan menunduk menyusuri lapangan itu. Menendang apapun yang menghalangi jalannya. Ia mendongak seketika mendengar jeritan kecil seseorang setelah kaleng minuman itu ditendangnya ke sembarang arah.

“Kamu lagi?” Tanya Alvin tak percaya.

Bocah itu merengut, tapi, sambil berusaha tersenyum karena mengingat seseorang yang membuatnya menjerit kesakitan tadi baru saja meminta maaf kemaren. Alvin merasa bersalah, “Maafin aku lagi ya?” katanya.

“Iya. Tak apa.”

Alvin lega mendengar jawaban tadi. Ia kembali bersemangat. Kemudian, ia mendekati bocah itu yang kembali disibukkan dengan kegiatannya tadi. “Kamu ngapain? Itu apa?” Alvin sempat melirik apa yang sedang digores bocah itu dikertas gambar sebelum bocah itu mendekapnya erat. “Wah, gambar rumah ya? Lihat dong!”

“Gak mauuu. Ini jelek!”

“Bagus kok! Aku tadi ngelihatnya bagus. Ayo dong, lihat.” Alvin mencoba memaksa “Kita harus bangga sama apapun hasil karya kita. Kalau hasil karya orang lain, baru kita malu. Itu hasil karyamu kan? Makanya, gak usah malu.. aku ingin lihat!”

“Eh tapi, ini jelek. Aku belum terlalu mahir..”

“Gak apa. Kita kan emang masih kecil? Boleh aku lihat ya?” Alvin memelas. Tangannya menengadah ke arah bocah itu, masih berharap bocah itu memperlihatkan gambarannya.

“Iya deh, ini.” Bocah itu akhirnya memberikan gambarannya ke Alvin.

Alvin terlihat kegirangan. Tiba-tiba ia berhenti bersorak. Mengagumkan. Sketsa rumah yang sangat indah, yang belum pernah ia lihat berada ditangannya. Mulutnya menganga tak percaya, bagus sekali gambaran yang belum seberapa jadi ini.

Sebuah rumah sederhana, tetapi elegan itu digambar oleh bocah seumurannya. Dibelakang gambar itu ada sebuah gambar pantai yang airnya pasang. Matahari terbenam disebelah barat itu pun menambah keelokan pemandangan alam dua dimensi itu. Senyuman Alvin mengembang “Emezing! Ini gambaran terbagus yang pernah aku lihat.” Katanya kagum.

“Terimakasih ya. Kamu orang pertama setelah mama dan papaku yang bilang begitu.” Bocah itu mau tak mau memapang senyum diwajahnya, kemudian ia meneruskan, “Oh iya, nama kamu siapa?”

“Iya sama-sama.” Jawab Alvin. “Nama aku Alvin. Kamu sendiri?”

“Mario. Panggil aja Rio.” Rio tersenyum tatkala melihat Alvin tersenyum juga. “Eh, karena kamu teman pertama aku, jadi aku bakalan tulis nama kamu di…” rio berfikir sambil mencari-cari sesuatu yang tepat umtuk menuliskan nama mereka berdua.

“Pohon itu aja!” tunjuk Alvin. “Biar aku yang nulis ya? Pinjem pulpen kamu tapinya, hehe”

“Boleh. Ini.”***

Sesampainya dilaut
Ku kabarkan semuanya
Kepada karang, kepada ombak, kepada matahari.
Tetapi semua diam, tetapi semua bisu.
Tinggal aku sendiri
Terpaku menatap langit.

Rio tersadar lagi. Bayangan yang dibentuk matanya menjadi buram, karena cairan bening dimatanya mulai mengumpul dan segera meneteskan butiran bening itu lagi. Tetapi semua itu rela ia tahan. Karena ia tak ingin kepedihan itu terulang lagi.

Rio berjalan pelan sampai keluar dari area lapangan. Tak jauh dari sana, ia berhadapan langsung dengan laut berombak tinggi. Sepi. Sunyi. Pikirannya mulai ke masa lalu lagi, pantai ini, pantai yang dimana ia menghabiskan waktu bermain lebih lama dengan sahabatnya, Alvin.

“Gue disini, Vin. Ditempat pertama kalinya lo ajak gue main selain dilapangan. Lautnya masih indah, masih tetap liar.” Katanya lirih. Rambutnya berkibar tak karuan, karena pengaruh angin sangat kencang.

***”Kita mau kemana sih? Gak perlu pakai tutup mata juga kali.” Omel Rio kepada Alvin yang tak memperdulikan ocehannya. Alvin hanya tersenyum misterius sambil menuntun Rio berjalan, karena mata Rio tertutup oleh kain pemberian Alvin.

Setelah Rio tak disuruhnya melangkah lagi, itu artinya mereka sudah sampai ditempat tujuan. “Buka deh penutupnya!” seru Alvin.

Rio membukanya cepat karena penasaran. Rambutnya yang hitam itu berantakan tak karuan. Ia mengumpulkan penglihatannya karena masih buram berkat pengaruh penutup mata tadi. Setelah matanya selesai mengumpulkan bayangan, “KEREEENNNNNN” ia berteriak. Lepas.

“Ini tempat main kita yang kedua, yo! Jadi, kalau kamu mau cari inspirasi buat gambar bisa lebih tenang disini. Soalnya, jarang ada anak-anak yang dibolehin main ke sini.” Kata Alvin panjang lebar.

“Oke juga pilihan kamu, Vin!”

“Alvin, gituu. Eh, duduk yuk! Aku pegel.”

“Ayuk deh..”

Saat itu, matahari yang tadinya diatas mulai tenggelam ke peraduan. Kedua bocah itu serius menatap langsung laut lepas yang menghubungkan salah satu pulau di Indonesia dengan Negara Malaysia. Indah. Satu kata yang memang tepat untuk diutarakan oleh perasaan.

“Cita-cita kamu pelukis ya?” Tanya Alvin secara tiba-tiba.

Rio menggeleng cepat. “Bukan, cita-cita aku itu jadi arsitek. Makanya aku suka gambar rumah-rumah. Tapi biasanya aku suka paduin gambar rumah aku sama pantai ataupun laut. Gak tahu kenapa, rasanya itu lengkap.” Jawab Rio. “Kalau kamu apa, Vin?”

“Aku?” Alvin terkaget. Rio hanya menjawab dengan anggukan. Saat ini, Alvin bingung menjawab pertanyaan Rio yang tadi. “Aku pengen jadi pelayar. Bisa keliling dunia lewat laut. Terus, bisa jagain Indonesia dari ancaman Negara lain lewat perairannya.” Jawabnya pada akhirnya.

“Pelayar? Gak bahaya?”

“Bahaya? Bahaya kenapa deh? Kalau itu udah jadi cita-cita, gak ada bahayanya kok, kita malah seneng. Kamu juga kan? Arsitek kan juga bahaya? Kalau kamu gak bisa mengira ukuran bangunan sama bahannya, rumah yang kamu bangun akan runtuh. Iya kan?” kata Alvin. Ekspresi wajahnya biasa, tapi jawabannya cerdik, secerdik orang-orang dewasa.

“Iyasih, hehe..”

“Mau janji sama aku gak yo?”

“Janji? Apa?” rio mengerutkan keningnya.

“Kalau kita besar nanti, kamu pasti akan ninggalin pulau ini untuk ngejar cita-cita kamu yang lebih tinggi daripada aku ini ke luar pulau. Jadi, Aku mau kamu janji sama aku, sama pulau ini juga, kalau kamu sukses, kami harap kamu masih ingat sama kami. Karena inspirasi yang kamu dapat juga dari pulau ini, kota ini.  Jadi, kamu gak boleh lupa.” Jawab Alvin.

“Aku pasti gak bakalan lupa kok, sama kamu juga gak bakalan lupa..” kata Rio polos “Janji”. Alvin menoleh sekilas, mengeluarkan senyuman diwajahnya. Kemudian ia berkonsentrasi kembali melihat pergerakan matahari. “Kamu pasti bisa ke luar pulau juga kok Vin, cita-cita kamu juga sama tingginya kayak aku kan?”

“Iya sih, tapi aku lebih mengabdi ke pulau ini aja. Pulau Sumatra. Aceh. Entah kenapa. Cita-cita aku satu lagi adalah, bikin Aceh makmur, yo” Kata Alvin lugu. “Selamat berjuang ya, Mario!”***
.
Barangkali disana ada jawabnya
Mengapa di tanahku terjadi bencana
Mungkin Tuhan mulai bosan
Melihat tingkah kita
Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa
Atau alam mulai enggan
Bersahabat dengan kita
Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang..

10 tahun Rio meninggalkan Aceh untuk Jakarta, untuk cita-citanya. Ia juga telah mendapatkan gelar sebagai insinyur muda se Indonesia. Pada tanggal 26 desember 2004, terdengar kabar bahwa Aceh sedang terjadi bencana, tepatnya tsunami. Dan hampir semua penduduk meninggal, apalagi yang bertempat tinggal disekitar laut Aceh.

Saat itu juga Rio menjadi tertekan, terkejut, dan tak percaya. Padahal tinggal 5 tahun lagi ia akan kembali ke Aceh, membangun rumah-rumah desainannya disana. Berkumpul kembali bersama Alvin, teman sekaligus sahabatnya itu. Mewujudkan perjanjian mereka. Tapi bagaimana mungkin, takdir berkata lain.

Kini 5 tahun itu berakhir, dan tanpa kecuali, ia harus segera datang ke Aceh, untuk mewujudkan perjanjian sederhana itu “Jangan lupakan Aceh.”

Rio menatap rapuh laut Aceh yang sedang pasang. Andaikan semuanya bisa diulang, ia akan menyelamatkan Alvin, sumber inspirasinya itu. “ANDAIKAN LO MASIH DISINI, SAMA GUE, PASTI LO BANGGA VIN. GUE UDAH DAPET CITA-CITA GUE YANG ITU. SEKARANG, GUE HARUS WUJUDIN CITA-CITA LO BUAT ACEH. GUE JANJI VIN.” Teriaknya kepada laut yang menatapnya hampa. Tak ada lagi kejahilan yang mengusiknya, tak ada lagi motivasi-motivasi polos yang diucapkan oleh bocah berumur 5 tahun, 15 tahun lalu, karena sahabatnya. Alvin, meninggalkannya bersama tsunami itu. Selamanya.