Minggu, 07 Desember 2014

Taylor Swift - Red -



Sukanya bingoooo hahaha.. Alay. Tapi emang bener kereeeen banget lagunyaa XD

"Red"
[Verse 1:]
Loving him is like driving a new Maserati down a dead-end street
Faster than the wind, passionate as sin, ending so suddenly
Loving him is like trying to change your mind once you're already flying through the free fall
Like the colors in autumn, so bright just before they lose it all

[Chorus:]
Losing him was blue like I'd never known
Missing him was dark grey all alone
Forgetting him was like trying to know somebody you never met
But loving him was red
Loving him was red

[Verse 2:]
Touching him was like realizing all you ever wanted was right there in front of you
Memorizing him was as easy as knowing all the words to your old favorite song
Fighting with him was like trying to solve a crossword and realizing there's no right answer
Regretting him was like wishing you never found out that love could be that strong

[Chorus:]
Losing him was blue like I'd never known
Missing him was dark grey all alone
Forgetting him was like trying to know somebody you never met
But loving him was red
Oh, red
Burning red

[Bridge:]
Remembering him comes in flashbacks and echoes
Tell myself it's time now, gotta let go
But moving on from him is impossible
When I still see it all in my head
In burning red
Burning, it was red

[Chorus:]
Oh, losing him was blue like I'd never known
Missing him was dark grey all alone
Forgetting him was like trying to know somebody you never met
'Cause loving him was red
Yeah, yeah, red
We're burning red

[Post-Chorus:]
And that's why he's spinnin' 'round in my head
Comes back to me, burning red
Yeah, yeah

His love was like driving a new Maserati down a dead-end street

Kamis, 04 Desember 2014

My Socrates Father (Cerpen)



Geje ah~ Geje~ --"
Tangannya udah karatan (/_\)
 

Tangan itu masih tetap bermain lincah diatas tuts-tuts keyboard. Menciptakan huruf demi huruf, kata demi kata, bahkan kalimat demi kalimat. Pandangannya tak berhenti menatap layar monitor, lalu keyboard. Monitor, kemudian keyboard lagi. Monitor, keyboard, dan akhirnya ia menatap jam tangan disebelah kirinya. Jam satu lebih lima belas menit, dini hari.

Sejenak, ia berhenti bergerak. Mengambil nafas begitu dalam, seolah ia sedang menagih hutang alam atas udara yang tak sempat ia hirup secara normal seharian ini. Ia menyematkan poni yang sudah terlalu panjang ke telinga kirinya, kemudian mendesah kecil. “Ayah, aku sedang berjuang. Doakan aku..” ucapnya dalam hati.

Kemudian, ia bergegas menyimpan file yang baru saja ia ketik, dan segera mematikan laptopnya. Dengan gerakan cepat, ia menata kembali tempat tidurnya yang penuh dengan bungkus makanan kering dan kaleng-kaleng soda. Membuangnya ke tong sampah, lalu bergegas ke kamar mandi untuk sekedar mencuci tangan dan kakinya. Ia tak mau menyikat gigi, karena pekerjaan itu adalah pekerjaan yang membuang-buang waktu saja, baginya. Tak lama, ia telah terbalut dengan selimut hangat dibadannya. Merasakan bahwa dirinya telah terbang ke alam yang berbeda.


“Saya mengambil tema Ayah, karena dibalik jerih payah saya, Beliau turut hadir memberikan percikan-percikan semangat dalam diri saya. Beliau bukan hanya seorang Ayah, tapi juga seorang malaikat yang tak pernah lelah berdoa pada Tuhan untuk saya. Hanya demi saya dan kesuksesan saya. Tanpa mempedulikan bagaimana keadaan Beliau yang semakin ringkih.”

“Seperti apa dia? Mengapa begitu spesial dimatamu?” Tanya salah satu dosen dalam sidang itu.

Ia  tersenyum, “Entahlah, mungkin ini persembahan terakhir saya untuk Ayah. Saya sedang merindukannya.”

Ruangan itu mendadak terpenuhi oleh ribuan tepuk tangan. Jiwanya sedikit bergetar, apakah ini tanda siding skripsi ini sukses? Ah, masa bodoh. Setidaknya, ia merasa telah berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan dosen dengan lancar.

“Selamat Chana, kamu luar biasa sekali! Sukses yaa..” ucap Ibu Mike, dosen Fakultas Ilmu Sosial, seraya memeluk Chan.

Chan balas memeluknya, tak ada kata yang lebih indah yang perlu ia dengar saat ini kecuali kata ‘Selamat’. Itu pertanda bahwa sidangnya memang benar-benar sukses.

“Terimakasih, Bu.”


Chana Danastri, begitulah namanya. Dengan singkat, kalian bisa memanggilnya Chan. Gadis cantik berkulit kuning langsat dengan rambut panjang bergelombang ini telah lama merantau ke Ibu Kota untuk mendapatkan gelar Sarjana. Meninggalkan seorang Ayah yang dulu sangat ia benci. Tapi kini, ia sadar bahwa ia sangat mencintai Ayahnya.

Dulu, ketika ia masih duduk dibangku Sekolah Dasar kelas 2, gadis itu melihat pertikaian antara Ayah dan Ibunya. Ayahnya dengan tenaga seorang tentara membanting tubuh Ibunya yang kecil itu pada dinding ruang tamu rumah mereka. Ibu Chan menjerit seketika, merasakan sakit yang luar biasa. Sedangkan Chan yang berada dibalik pintu kamarnya ikut memekik tanpa kata.

“Keluar dari rumah ini!” ujar sang Ayah lantang.

“Tidak. Aku akan tetap disini. Menunggu kebenaran itu datang..”

“Persetan dengan kebenaran. Pergi! Aku muak dengan mukamu! Biar aku yang merawat Chana! Pergi!” dengan kekuatannya yang begitu dahsyat, akhirnya sang Ibu berhasil keluar dari rumah. “Pergi dan jangan pernah kembali!” itu ucap sang Ayah untuk yang terakhir kalinya pada Ibu Chan.

Chan tak tahan lagi, ia pun lari keluar kamar dan meneriakkan nama Ibunya. Ia menangis hebat melihat punggung Ibunya yang perlahan menjauh dari rumah. Kemudian, tangan kekar memeluk dirinya dari belakang. Menahan Chan yang akan keluar rumah.

“Aku benci Ayah. Aku berjanji akan membenci Ayah seumur hidup sebelum Ayah membawa Ibu kembali ke rumah!” teriak Chan memberontak.

Sang Ayah tak menggubris perkataannya. Ia tetap menahan tubuh Chan, sedangkan gadis kecil itu berusaha melakukan berbagai cara yang sekiranya membuat Ayahnya kesakitan dan membiarkannya lepas dari dekapannya. Tapi tetap saja tak berhasil, justru kekuatan Chanlah yang semakin melemah.

Chan merasakan kelelahan yang luar biasa sehabis menangis dan melakukan pemberontakan kecil terhadap Ayahnya. Gadis itu pun akhirnya terlelap.

Sang Ayah menggendongnya ke tempat tidur. Sebelum pergi meninggalkan kamar Chan, Sang Ayah mengatakan sesuatu, “Suatu saat, kau akan tahu, nak, alasanku mengusir Ibumu..”

Sejak saat itu, Chan membenci Ayahnya. Ia bahkan rela berkata pada kawan-kawannya bahwa ia tak memiliki ayah maupun ibu. Ia mengaku yatim piatu pada semua orang.

Saat Ayahnya memasakkan beberapa makanan untuknya, Chan tak pernah menghargainya sedikitpun. Bahkan dengan tega, ia berkata, “Ehm, masakan apa ini? Gak enak. Andaikan Ibu masih ada, mungkin aku akan makan enak terus..”

Sang Ayah hanya terdiam. Ia tak memiliki hak untuk marah apalagi menampar Chan. Ini semua memang salahnya yang pernah mengusir Ibu Chan dengan cara yang kejam.

Begitulah beberapa tahun kehidupan Chan yang begitu pahit. Hingga lulus SMA, Chan pergi tanpa pamit pada Ayahnya saat ia mengetahui bahwa ia lolos seleksi masuk ke Perguruan Tinggi ternama di Jakarta. Chan berharap, dengan meninggalkan Ayahnya, ia dapat membalaskan dendam Ibunya. Dan mulai saat itu, Chan tak pernah menghubungi Ayahnya. Ia menghapus nama Ayahnya dari kehidupannya. Ia benar-benar membenci Ayahnya.

Sampai suatu saat, di semester ke tujuh, ia menerima telpon dari nomor yang tidak dikenal. Dengan gugup, Chan mengangkatnya.

Terdengar suara sayup disana, berharap agar sang anak mau pulang walau sejenak ke kampung halamannya. Chan menangis, begitu merindukan suara indah itu. Ibunya.

Tak perlu berpikir panjang. Saat itu juga, Chan mengurus semua kepulangannya dengan cepat. Rekan-rekannya sempat shock dengan kepergian Chan yang mendadak itu, tapi Chan berjanji akan kembali secepatnya.


Sampailah gadis itu didepan gang yang dulu pernah menjadi kenangan baginya. Ia menatap nanar pohon beringin disamping jalanan yang posisinya masih sama seperti dulu, sebelum ia meninggalkan desa itu. Hatinya menangis seketika melihat rumah mungil dengan halaman yang luas diujung gang itu dipenuhi oleh kendaraan dan orang-orang yang saling berdesakan untuk masuk kedalamnya. Hatinya bergeming seketika, ada apa?

Chan mempercepat langkah kakinya untuk segera memasuki rumah itu. Saat hendak melewati pintu, lengan Chan tertahan oleh sebuah tangan yang lembut. Yang ia rindukan belasan tahun lalu.

“Ibu?” Chan langsung memeluknya, merasakan wangi tubuh yang member ketenangan itu.

“Maaf, Chan. Ibu baru saja kembali.” Ucap sang Ibu sambil menyeka air mata dipipi Chan. “Ibu merindukanmu..”

“Aku juga, Bu.” Chan tersenyum senang sekali, melihat bidadarinya kembali. Chan terkesiap, baru saja tersadar dengan keramaian rumahnya. “Ada apa, Bu? Kok ramai sekali?”

Sang Ibu hanya terdiam, kemudian memandang Chan dalam. “Ayah meninggal, sayang..”

Chan melebarkan kedua matanya, cukup sebentar. “Bukankah ia sudah lama mati, Bu?”

“Shhh. Kasar banget kamu ngomongnya. Dia ayahmu.”

Chan tersenyum kecut, “Masih pantas dia disebut ayah? Setelah dia mengusir Ibu seperti binatang?”

Sang Ibu tak habis pikir dengan perkataan Chan. Tapi ia baru sadar akan sesuatu, bahwa ia belum memberi tahu Chan tentang apa yang terjadi sebenarnya. Rahasia besar ayahnya. “Ikut ibu sebentar.”

Sang Ibu membawa Chan kedalam kamar.

“Tak seharusnya kamu membenci ayah, Chan.” Itulah kalimat pertama yang dilontarkan oleh Ibunya. “Jadi, ayah belum cerita apapun padamu?”

Chan menggeleng. “Tidak. Tidak sama sekali. Kami bahkan tak pernah berbicara satu sama lain.”

“Oh, Tuhan..”

Chan mengernyit heran. “Ada apa sih, Bu?” ia mulai tak sabar menunggu penjelasan Ibunya.

“Kenyataannya selama ini, ayah tak pernah mengusir ibu. Dan ayah tak pernah salah sama sekali.” Ibu mengunci pandangannya pada foto ayah diatas meja. Seolah ia benar-benar sedang menatap ayah. “Ayahmu mengusir ibu karena satu hal. Ia berusaha mengurangi beban ibu, sayang. Kau tahu Socrates?”

Chan mengangguk. “Filsuf Yunani yang memilih untuk minum racun demi mempertahankan kebenaran itu?”

“Yap. Dia seperti sosok ayahmu. Dulu, saat ia masih menjabat di TNI AL, ia selalu mencari-cari orang yang tidak percaya terhadap Tuhan. Selalu bertanya pada mereka tanpa memberikan jawaban. Sampai akhirnya, mereka mengerti jawaban itu sendiri. Gara-gara itu, ayahmu dipecat oleh atasannya. Ia menganggap ayahmu sebagai lalat pengganggu. Kebiasaan ayahmu itu masih berlanjut. Ia menghabiskan waktunya hanya untuk menanyai warga tentang siapa Tuhan itu. Ia jarang sekali berdiam diri dirumah. Saat kamu duduk dikelas 2 Sekolah Dasar, ada sebuah kejadian.
Saat ia bertanya pada seorang janda kembang dikampung yang jauh dari rumah kita. Ayahmu diajak masuk ke rumah janda itu. Dan tiba-tiba, Ayahmu difitnah. Ada seorang warga yang salah faham dengan apa yang dia lihat. Warga itu menuduh ayah berzinah dengan janda itu. Kemudian, ia dipukuli habis-habisan sampai koma dan kehilangan kedua kakinya. Selesai koma, dia pulang ke rumah. Keadaannya yang cacat, semua fitnah tentang dirinya tak membuat usahanya berhenti untuk menegakkan agama yang benar.
Berita bahwa ayahmu berzinah, cepat sekali menyebar ke kampung  kita. Ibu sedikit terusik.  Dan Ibu berusaha untuk tetap ada disamping ayahmu. Tapi ayahmu, tidak menginginkan itu semua. Ia percaya, bahwa kebahagiaan ibu tidak berada padanya.”

Chan meneteskan butiran Kristal dari kedua matanya. Hatinya ikut merasa perih.

Kemudian Ibu melanjutkan ceritanya. “Mungkin waktu itu, kamu melihat ibu diusir ayah. Mungkin kamu berpikir, kalau ibu dimarahi ayah, kan? Tidak, Chan. Ayah menyuruh ibu pergi agar ibu tidak ikut menanggung penderitaan ayah. Ayah ingin ibu bahagia tanpanya. Itu alasan ayah, Chan. Kamu tak seharusnya membenci ayah..” Ibu menangis tersedu seraya memeluk Chan. Gadis itu menangis dalam diam. Jadi selama ini? Ia menyiakan kesempatan untuk membalas kebaikan ayahnya?

“Kau tahu? Siapa orang yang mengirimkanmu bersekolah ke Jakarta? Dia ayah, Chan. Dia melakukan yang terbaik untukmu. Dan dia selalu menghubungi ibu untuk sekedar memberitahu kabarmu. Ibu tahu, kalau kau tak pamit padanya, kan? Keterlaluan sekali kau, sayang..”

“Ayah.. Bu, aku ingin bertemu ayah.” Ucap Chan dengan terbata. Guncangan tangisnya membuat tubuhnya bergetar.

“Dia belum dikubur, temuilah. Minta maaf padanya.”

Saat keluar kamar dan melihat tubuh ayahnya yang terbujur kaku, Chan menangis kembali. Begitu terlambat semua ini. Ia merasa tak pantas meminta maaf pada sang Ayah. Ia terlalu hina. Kemudian Chan berjalan mendekat, ia mencium punggung tangan sang Ayah dengan khidmat. Berharap, bahwa tangan itu masih hangat, tak sedingin sekarang.

-

Ingatan Chan memudar, tak sadar bahwa ia telah sampai didepan pemakaman pahlawan hidupnya. Dengan langkah ringan, ia berjalan mendekati pusara.

“Selamat sore, Ayah. Aku bawa kabar gembira. Aku sarjana, ayah. Ini hadiah untuk ayah. Terimakasih untuk semua yang terlambat..”