Sabtu, 20 Agustus 2016

Petrichor (Cerita Bersambung)

PART 3

.
.



Setelah membasuh mukanya, Dira langsung berjalan menuju kelasnya. Langkah kakinya tak sejalan dengan keinginan hatinya. Ingin sekali rasanya gadis itu bolos dari jam pelajaran sekolah pagi ini.

Kelas Dira terletak dikoridor paling ujung lantai satu. Kelas yang cukup luas untuk sekedar menampung murid sejumlah tiga puluh satu. Kelas yang bercatkan putih itu nampak asri dengan tanaman-tanaman hias didepannya, terutama bunga mawar dan melati yang tumbuh rindang sekali. Saat Dira masuk ke dalamnya, dua orang lelaki yang duduk di kursinya sontak berdiri mempersilahkan.

“Kura-kura kecemplung kali, hai Dira selamat pagii..” goda cowok berambut ikal dengan lesung pipit dikedua pipinya.

Dira tersenyum seketika, “Pagi juga Sandi..”

“Aseekk.. Cakep banget dah elu.”

Cowok berambut jabrik menoyor kepala cowok bernama Sandi tadi, “Lu tau aja yang bening-bening. Tau gitu mata lu gua lakban tadi pagi.”

“Lu bilang gitu karena lu iri kan sama gua? Lu gak pernah dapet ucapan selamat pagi dari Dira, kan? Jangankan selamat pagi, sms lo aja kagak pernah dibales kan? Hahahaha..” Sandi terpingkal.

Muka pemuda jabrik itu sontak memerah sembari mengelus-elus rambutnya.

Dira mengernyit seketika seraya duduk pada kursinya, “Jadi selama ini yang neror gue itu lo, Ka?” terka Dira seketika.

Pemuda bernama Raka itu mengibaskan tangannya, “Gue gak neror kok, Cuma mau kenalan aja.”

Sandi menepuk bahu Raka, “Hey Ka. Sebelum lo kenalan sama cewek, tolong bedain teks yang isinya minta kenalan sama broadcast di line. Lo kenalan atau iklan??”

Dira terkekeh lebih keras, “Tau nih, Raka. Pake sms mama minta pulsa pula, hmm.”

Muka Raka merah padam, “Tolong jangan bully gue, please.” Ucapnya dengan muka centil.

Sandi pura-pura ingin muntah. Dira melengos.

“Apaan sih lu berdua ganggu banget. Pergi sana..” tiba-tiba saja teman sebangku Dira muncul seraya memukuli Sandi dan Raka dengan penggaris plastik.

“Ubur-ubur temennya bandeng. Yuk kabur, satpamnya dateng.” Kata Sandi seraya menarik Raka dan berlari meninggalkan bangku Dira.

Dira tergelak melihat tingkah kedua teman sekelasnya tadi. Setelah tawanya mereda, gadis itu melirik kawannya yang baru saja mengusir Sandi dan Raka.

“Lo habis nangis ya?” terka gadis berambut kemerahan itu pada Dira.

Dira tersenyum kecut kehabisan alasan, “Lo tau aja, Ta.”

Nata tersenyum miris. “Itu kejadian udah kemarin, Ra. Kenapa masih lo inget-inget, sih..”

Dira tersenyum datar, “Iya, sorry. Biasa, gue kan tipe cewek yang gagal move on, hehe..”

“Jijik banget lo..” kata Nata seraya mengacak rambut Dira. “Udah, Ra. Lo harus lebih kuat dari ini, baru digituin aja udah lembek. Lo kudu strong. Wajib. Kalo lo kuat, semua cacian dari orang lain akan jadi angin yang hilang dalam sesaat.”

“Thanks ya Ta. Lo pengertian banget..” ujar Dira seraya memeluk sahabatnya itu.

“Iya sama-sama. Be brave ya honey.. Oh iya, Kak Galih gimana?”

Dira langsung melepas pelukan Nata. “Gimana maksud lo?”

“Yaa.. Lo masih ketemu sama dia kan?”

Dira mengangguk, “Sure.” Ucap Dira menggantung, matanya melirik aneh pada Nata.

Nata nyengir kuda seraya mengeluarkan buku fisika dari dalam lokernya. “Ya syukur deh. Setidaknya dia bisa jadi pengganti abang lo..”

Mulut Dira membentuk vokal o tanpa suara sembari mengangguk-angguk. Kemudian gadis itu tersenyum. Cukup singkat. Tiba-tiba terlintas raut muka Galih yang menenangkannya tadi.

-
-

Saat istirahat jam pertama, Daren bermain gitar didekat koridor paling ujung lantai dua SMA Budi Utomo. Pemuda itu sukar sekali lepas dengan gitarnya. Terkadang irama yang dipetiknya terdengar sayu, kadang terdengar riuh. Sampai akhirnya, ia terhenti kala dua pasang kaki berhenti tepat dihadapannya.

“Ngapain lo?” ujarnya sembari melirik sekilas orang itu.

“Lo apain Dira?”

Daren mendengus. Ia tersenyum sinis seperti biasanya. “Jadi dia ngadu sama elo? Bagus deh..”

Galih duduk menghadap Daren. “Jangan langsung menilai orang lain seenak jidat lo. Dira gak cerita apapun ke gue. Tapi tadi pagi dia nangis, dia nangis kenceng banget diloteng. Gue paksa ngaku, tapi dia gak mau jawab pertanyaan gue. Dan gue yakin, tangisan Dira tadi bukan tangisan seorang anak manja yang lagi kangen sama orang tuanya. Itu tangisan sakit hati, Ren.” Kata Galih lantang, membuat Daren seketika menciut. “Lo tau apa yang lebih sakit daripada sebuah pukulan? Itulah kata-kata. Jaga omongan lo. Apalagi sama cewek kalo lo gak mau dibilang banci..”

“Eit, dah. Kok lo yang jadi marah-marah ke gue?”

Galih mendengus kesal. “Gue ngelakuin apa yang seharusnya gue lakuin. Gue ngejaga Dira. So, no ones can’t hurt her include you.”

Dan Galih pergi begitu saja tanpa meminta penjelasan apapun.

Daren masih tercengang. Ia terkejut dengan kejadian apa yang baru saja terjadi padanya. Namun tiba-tiba, senyuman manis yang muncul dari bibir tipisnya kembali mengembang. Ia menunduk perlahan, memainkan gitarnya kembali.

Karena kau tak mengerti bagaimana cara ia mengukir luka itu. Begitu kuat dan tak kan pudar oleh waktu. Kau bilang kau orang yang paling mengertiku, tapi tidak. Kau belum begitu dalam menyelami darah-darah masa laluku. Terserah kau berkata apa, kau caciku bagaimanapun pahitnya. Namun luka tetaplah luka. Walaupun ia sembuh, namun bekasnya masih ada.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara langkah kaki mendekat. Daren menghentikan permainan gitarnya. Ia menoleh pada dua pasang kaki dihadapannya. Kemudian menengadahkan pandangannya.

“Papa?”

Lelaki paruh baya itu tersenyum hangat. Lalu mengusap kepala Daren.

-
-

Pemuda itu, mau tak mau, harus berjalan mengelilingi lantai satu. Ia tak pernah bertanya soal kelas yang dihuni adiknya. IPA atau IPS, ia bahkan tidak tahu menahu soal hal itu. Setiap kelas, dimasukinya, ia bertanya pada gadis-gadis yang terus menerus berteriak memanggil namanya. Setelah gadis-gadis centil itu tahu siapa yang dicari oleh sang pemuda, mereka menjawab “Tak tahu.” Dengan muka yang sedikit tertekuk.
Daren mengangkat bahunya cuek.

Dan pada akhirnya, tersisa kelas dikoridor paling ujung. Kelas dengan taman bunga dihadapannya. MIA-5.

Pemuda itu menemukan titik fokusnya di dalam kelas. Kelas yang awalnya gaduh, mendadak menjadi hening kala Daren memanggil nama Dira.

Gadis yang namanya dipanggil tadi sedikit tak percaya tentang apa yang telah didengarnya. Daren memanggilnya? Itu mustahil. Kemudian, gadis itu tak mengusik kehadiran Daren yang berdiri didepan pintu. Daren tak mungkin memanggilnya, begitu tegas Dira dalam hati.

Daren berjalan memasuki kelas. Suara pekikan dari gadis-gadis belia mulai didengarkannya. Daren adalah seorang idola di Budi Utomo, jadi tak heran begitu banyak gadis yang memujanya.

“Ikut gue.” Kata Daren tegas ketika sampai didepan bangku Dira.

Dira perlahan mendongak. Ia mengernyit heran, “Aku?”

Dengan cepat, Daren menggenggam tangan Dira dan menarik gadis itu keluar kelas. Suara gemuruh mulai terdengar diseantero jalan yang mereka lalui. “Yang cakep jelas lebih milih yang cantik..” “Sumpah mereka cocok banget..” “Si Dira main tikung aja..” “Hancur harapan gue..” “Udah ah, lu mah sama kambing aja..” “Dasar cewek genit, ke laut aja lu mah..”

“Bang, kita kemana?” Dira selalu berusaha bertanya pada Daren. Tapi sayang, pemuda itu tak pernah menjawab. Ia tetap menggenggam tangan adiknya sembari terus melangkah. Langkah kakinya yang panjang membuat gadis itu berlari kecil, mencoba menyelaraskannya.

Saat hendak keluar dari sekolah, Galih menatap keduanya, dan juga genggaman tangan itu. Entah perasaan apa yang menggelitik hatinya, ia tak menyukainya. Dira menyadari ada Galih disana. Gadis itu menarik seulas senyum pada bibirnya untuk pemuda itu dan Galih membalasnya dengan ragu.

Daren membawa Dira menuju ruang tamu asrama. Dira tetap saja bertanya, “Kita mau kema---?”

“Sayang..”

Gadis itu menoleh pada sumber suara tadi. Ia melihat seorang lelaki paruh baya dihadapannya. Ada kumis tipis diatas bibirnya yang merah itu. Lelaki berperawakan tegap, tinggi, dan gagah itu mengangkat kedua tangannya. Berharap gadis itu memeluknya.

“Papa..” Dira melepas tangan Daren dan berlari menuju Papanya. Ia memeluk Papa dengan sangat erat.

“Papa rindu, sayang. Gimana kabarmu?” Papa mencium kening Dira setelah gadis itu tak lagi dalam dekapnya.

“Baik, Pa..”

“Daren selalu jaga kamu, kan?”

Hati Dira mencelos seketika. Perlahan, ia menatap Daren dengan ragu.

Daren menggigit bibir bawahnya. Harap-harap cemas dengan jawaban Dira nanti.

Dira menatap mata Papanya kembali, dengan hiasan senyum diwajah manisnya. “He always keeped me. Dia menjalankan tugasnya dengan baik, Pa..”

Papa ikut mengukir senyum, “Bagus deh kalau gitu. Karena kalian berdua adalah saudara, jadi harus akur ya..”

Dira tercekat seraya mengangguk. Daren tersenyum miris.

“Yaudah, Papa pamit dulu.”

“Kok buru-buru Pa? Kita baru ketemu lho..” sergah Daren.

Papa terkekeh pelan, “Papa ada proyek di Jakarta. Mau ke lokasi kok lewat sekolah kalian, jadinya mampir sebentar.” Ujar Papa seraya membereskan barang bawaannya. 

Dira dengan sigap membawakan tas Papa. “Yaudah, kalian hati-hati ya.. Papa pulang dulu.” Kata Papa seraya mengecup puncak kepala Dira. Lalu memeluk Daren.

Kemudian, Daren dan Dira mengantarkan Papa mereka sampai ke mobil. Disana ada Pak Mul, sopir pribadi Papa yang menyapa mereka dengan hangat.

Dira memberikan tas Papanya sembari mencium punggung tangan beliau. Begitu juga Daren.

“Papa pamit.” Kata Papa sembari menutup pintu mobil.

“Hati-hati, Pa.” Kata Daren.

“Sukses proyeknya yaa Papaku..” tambah Dira.

“Makasih sayang, Assalamu’alaikum..”

“Wa’alaikum salam.

Dan mobil sedan hitam milik Papa meninggalkan kawasan sekolah dengan dentuman khasnya.

Dira membuang nafas. Ia merasa tak bebas menghirup udara saat berada disekitar Papa tadi. Lalu gadis itu menoleh pada sosok tampan disampingnya. “Ayo ke kelas, Bang..”

Daren menatap mata Dira dengan tajam. “Gak usah sok deket sama gue. Sampai kapanpun, gue gak akan pernah nganggap lo ada.” Ucap Daren pedas seraya meninggalkan Dira diparkiran.

Gadis cantik itu merasakan sesak lagi. Sesak yang memilukan hati. Dengan terpaksa, ia mengukir senyum pada bibirnya yang merah jambu itu. Mencoba untuk lebih tegar lagi. Karena ia yakin, setiap usaha memerlukan waktu.

-

Sabtu, 13 Februari 2016

Petrichor (Cerita Bersambung)

PART 2



“Kepo lu!” Dira menjulurkan lidahnya ke arah Galih yang sedang serius menunggu jawabannya. Gadis itu terpingkal hebat sambil memegangi perutnya.

Disampingnya, Galih tersenyum kecut. Mengutuk dirinya sendiri karena mau saja dibohongi oleh gadis galak disampingnya. “Tertawa aja sana, sampe puas, biar sakit perut sekalian.” Galih mencibir pada Dira yang belum bisa meredakan tawanya. Tapi tawa itu bagai langgam merdu dalam gaung telinga Galih. Nyanyian bidadari.

“Maaf, maaf. Habisnya gue gak tahan liat muka lo yang bego banget kayak tadi.. Hahaha.”

Galih beranjak dari duduknya, merapikan seragamnya dari debu-debu loteng. “Udah ah, gue mau balik. Telat bisa mampus gue.”

Dengan seketika, tawa Dira reda. Ia ikut berdiri sembari membenarkan tatanan rambut sebahunya yang sedari tadi terhembus angin. “Gue juga. Mau masuk kelas.”

“Nyeh, lu ikut-ikut gue aja. Lu gak mau gue tinggalin kan? Makanya ikut ke kelas.”

Dira menepuk jidatnya, “Emang ini waktunya masuk kelas, Gaaal. Pede lo ketinggian. Awas jatuh..”

“Gal? Lo panggil gue apa tadi? Gal?”

Dira mengangguk, “Iya. Gal. Nama lo Galih, kan?”

Galih tertawa miris, “Lo kira gue jagal. Panggil Lih gitu kek. Aneh banget lo manggilnya.”

“Karena Lih sudah terlalu mainstream haha. Udah ah, lo gak penting banget mempermasalahkan sebutan. Yang terpenting, sebutan itu kan gak melenceng jauh dari nama lo.” Ujar gadis bermata cantik itu seraya membuat langkah pada kaki jenjangnya. Meninggalkan Galih yang sedari tadi dibuatnya terpana.

Dira baru saja hilang dari hadapanya. Galih geleng-geleng kepala sendiri, sedikit gemas dengan tingkah Dira. Dia lebih menyenangkan dari yang lo kira, Daren.
-
-

Burung-burung gereja berterbangan dilangit sore, mengikuti kemana arah angin pergi.
Senja masih berbalut duka. Daren belum bisa melupakannya. Kejadian pahit yang di alaminya selama bertahun-tahun lalu masih membekas dibenaknya. Hampir setiap hari hatinya dirundung rasa rindu, rasa kecewa, rasa amarah.

Pemuda itu menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya dengan perlahan. Ia memetik gitarnya lagi, dengan ritme yang pilu. Kepalanya tertunduk bisu. Entah sampai kapan ia harus begini. Selalu menyalahkan keadaan. Harusnya tak seperti ini, harusnya begini, harusnya ia tak ada, dan harusnya harusnya yang lain.

Tiba-tiba saja matanya berkaca-kaca. Ternyata luka itu masih terasa. Masih sama. Bahkan ia sendiri tak tahu bagaimana cara menyembuhkannya.

Ia menengadahkan kepalanya pada langit senja yang ia lihat dibalkon kamar asrama. Kemudian tersenyum. Getir. Jari-jarinya masih membuat nada-nada. Memorinya mengelupas seketika, saat ia menikmati kedamaian senja untuk yang terakhir kalinya, bersama seorang adik perempuan disampingnya.

Mereka berdua bernyanyi bersama, tertawa bersama, saling memukul, mengejek, bermanja dengan orang tua mereka, dan pada saat mereka lelah, mereka berdua akan tidur bersama. Itu yang membuat orang tua mereka tidak pernah berhenti tersenyum menyaksikan keduanya.

Sore itu, sebuah keluarga yang bahagia akan berkunjung ke Surabaya, mengunjungi paman dan bibinya yang tak pernah sekalipun mereka temui. Perjalanan itu mereka tempuh dengan menggunakan mobil. Ditengah tengah perjalanan itu, Daren mendengar suara decitan rem yang sangat nyaring. Kemudian diikuti oleh teriakan yang memilukan. Ya, mobil yang ditumpangi keluarga kecil itu mengalami kecelakaan.

Dan semenjak saat itu, Daren membenci senja. Membenci segala hal yang terjadi setelah kecelakaan besar itu menghantamnya.

“Ren, lu gapapa?” gertak Galih yang sedaritadi memanggil Daren tapi tak ada jawaban.

Daren mengerjap sekali, air bening dimatanya menetes, dengan sigap ia menghapusnya. “Lo itu ngagetin gue mulu kerjaannya.”

“Lah, dari tadi gue udah gedor pintu, udah salam berpuluh-puluh kali, udah panggil nama lo ratusan kali, tapi teteeep aja kagak ada jawaban.”

Mata Daren membelalak, “Masa sih? Kok gue gak nyadar ya?”

Galih terkekeh seketika. Pemuda itu langsung saja duduk dikursi sebelah Daren, menikmati senja sambil mengunyah permen karetnya. “Sampai kapan lo begini, Ren?”

Daren mengerti benar maksud pertanyaan Galih. Pemuda berhidung mancung itu tersenyum tipis, tapi miris. Tak lama, ia meletakkan gitarnya disebelah kursi yang didudukinya tadi. “Entah. Gue gak tau sampai kapan..”

Galih menatap kawannya itu, “Kunci dari semuanya itu Cuma ikhlas, Ren. Gak ada yang lain.”

“Kadang berbicara itu gampang banget lho, Lih.”

Galih tercekat, “Ehm, sorry Ren. Gua gak bermaksud.”

“Hahaha. Iya gapapa. Gue aja yang keterlaluan. Ah, udah ah. Ngapain lu ikut-ikutan galau kayak gue. Oh iya, gimana Dira? Lo bisa jaga dia, kan?”

Galih mengangguk, “Sure. Dia baik-baik aja kok, Ren. Target gue selanjutnya adalah dia bisa cerita ke gue tentang siapa jati dirinya. But, slowly lah. Gak usah buru-buru. Karena gue udah dibikin nyaman dengan candaannya.”

“Njir, lo puitis banget sih. Hati-hati lo kepincut.”

“Kalo udah kepincut, gimana dong?”

“Ini nih, anak muda jaman sekarang. Gampang banget jatuh cinta.”

Galih terbahak sembari geleng-geleng kepala sendiri. “Oh iya, Ren. Lo tau gak kalo Dira suka banget sama alam?”

Daren mengangguk, “Tau. Dari kecil itu dia suka banget sama ketinggian, suka naik atap rumah, suka naik pohon. Pernah gue tanya, kenapa dia begitu eh jawabannya karena dia ingin berbicara dengan angin. Sinting, kan?”

“Ooh gitu. Tadi dia bilang, kalau lo yang buat dia jatuh cinta dengan alam.”

Daren membelalakkan matanya, terkejut seketika, kemudian terkekeh “Ogak. Gak pernah sama sekali. Ngarang tuh anak. Ketemu sama dia aja gue gak suka, apalagi berduaan dan buat dia jatuh cinta sama alam.”

“Coba lo inget-inget lagi deh, Ren.”

Daren beranjak dari duduknya, “Males inget-inget. Gak penting.” Ujarnya ketus seraya berlalu meninggalkan Galih dibalkon.

Galih mengangkat bahu. Bingung dengan sikap sahabatnya itu.

-
-
 
Di dalam perpustakaan sekolah, seorang gadis masih bersikukuh mencari buku materinya. Tak mudah mencari materi yang tepat pada buku sebanyak ini, dalam perpustakaan sebesar ini. Setelah mengambil sebuah buku, dibacanya sebentar, lalu diletakkannya lagi pada tempatnya, bukan buku yang cocok. Lalu ia mencari lagi, mencari, dan terus mencari.

Sampai akhirnya, jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Gadis itu ketiduran. Dengan mata yang hampir separuh terbuka, ia membereskan buku-buku yang berserakan di meja perpustakaan.

Setelah itu, ia keluar dari perpustakaan. Koridor sekolah tampak sepi dan gelap. Tiba-tiba saja hawa aneh menghampirinya. Dengan kesadaran yang pulih seketika, gadis cantik itu memperlebar langkah kakinya menyusuri koridor. Ia mempercepat jalannya, dan bahkan sampai berlari kecil.

Untung saja, ruang perpustakaan tak jauh dari gedung asrama putri dan putra, jadi gadis itu bisa langsung kembali ke asrama tanpa merasakan horor yang berkelanjutan.

Gedung asrama putri berada paling ujung, tentu saja melewati gedung asrama putra. Derap langkah gadis itu mulai melambat ketika ia menemukan sebuah keganjilan dibalik tembok gedung asrama putra. Ia melihat asap dalam kegelapan. Entah asap apa itu.

Langkah kaki yang seharusnya menuju ke asrama putri, kini berbelok ke asrama putra. Ia lebih tertarik untuk melihat apa dibalik tembok itu.

“Bang Daren?”

Daren terperanjat, segera menyembunyikan benda yang berada ditangan kanannya.

“Abang ngerokok?” tanya gadis itu sekali lagi.

Daren menatap Dira gusar, ingin sekali mencekik gadis itu. “Kenapa? Mau ngadu? Aduin sana..”

Dira geleng-geleng kepala tak percaya, “Gak nyangka bang Daren ngerokok..”

“Kenapa sih?” Daren meninggikan suaranya satu oktaf. “Lo gak suka? Gue nakal? Terus, peduli apa lo sama gue? Eh inget ya, gue jadi kayak gini juga gara-gara elo.” Ujar Daren lantang seraya menunjuk tepat dimuka Dira.

Gadis itu tercengang, cukup lama, hingga cairan bening dimatanya hampir saja tumpah.

“Jangan pernah sekalipun lo ikut campur masalah gue.” Ujar Daren seraya mengacungkan telunjuknya tepat di muka Dira.

Gadis itu mengangguk kecil, ia masih menatap mata kakak laki-lakinya itu dengan pandangan yang memilukan.

“Udah pergi sana. Ganggu banget lo.” Bentak Daren cukup keras hingga membuat gadis itu terperanjat.

“Selamat malam, Bang.” Kata Dira seraya meninggalkan pemuda yang mulai menghisap tembakau ditangannya kembali.

Daren menatap punggung Dira yang mulai menjauh. Entah mengapa rasa benci itu meluap begitu saja saat dihadapan adik tirinya. Ia mengerjap sekali, menghembuskan nafas perlahan. Getir.

-
-

Hari berikutnya di loteng sekolah. Pemuda dengan gaya rambut yang acak-acakan itu sedang menatap gadis disampingnya dengan cermat. Ada yang berbeda disana. Begitu sayup pandangan gadis itu, tak seperti biasanya.

Pemuda itu melahap kembali roti tawar dihadapannya, bingung mencari kata pembuka yang tepat untuk mengawali pertemuan mereka kali ini.

Tiba-tiba saja Dira berteriak kencang, “Aaaaaaaaaaaaaaaa..” kemudian ia menangis. Terceguk diatas sofa butut yang didudukinya.

Galih kebingungan bukan main. Ia meletakkan sisa roti tawar yang tak sempat dilahapnya ke atas piring plastik itu lagi. “Hey bocah, elu kenapa?”

Dira menangis lebih kencang sembari menutup seluruh mukanya. Air matanya meluap begitu saja, ia ingin bebas. Ia ingin bercerita dengan alam. Ia ingin alam mendengarnya.

Dan Galih memeluknya. Mendekap gadis itu hingga ia merasakan kehangatan. Hingga gadis manis disampingnya berhenti menangis. Dan ia percaya bahwa sebuah pelukan adalah kepedulian tanpa kata.

Tangis Dira kembali meledak setelah ia merasa bahwa Galih memeluknya. Baru kali ini ia merasa tak lagi sendiri melewati kepedihan. Ada seseorang disampingnya yang begitu tulus menjaganya.

“Lo nangis aja sampai puas. Karena air mata adalah bukti bahwa Tuhan mencintaimu.”

Ah, Galih. Kenapa bukan elo aja sih yang jadi abang gue? Begitu ujar Dira dalam hati.

Beberapa menit kemudian, Dira mulai bisa mengatur kembali emosinya. Tuhan menjawab doanya.

Dan kini Galih pun merenggangkan pelukannya. Pemuda itu membantu Dira untuk mengusap air matanya.
Dira tersipu. Ia terkekeh melihat sikap Galih. “Hehe, makasih banyak ya Gal. Lo baik banget.”

Galih menggaruk punggung kepalanya yang tak gatal. Sedikit dibuat salah tingkah. “Lo kenapa?”

Dira tersenyum sekilas, juga melirik Galih dalam waktu beberapa detik saja. “Tiba-tiba aja gue pengen nangis, Gal. Gue lagi kangen mamah papah kali ya..”

Galih mengernyit heran. “Kangen mama papa? Lo kayak bocah SD aja.”

“Hehehe. Emang gue masih bocah. Lu sendiri yang bilang.”

Galih mencibir kesal. Kemudian pemuda itu mengambil air mineral dalam botol yang dibawa Dira tadi. “Minum dulu, gih. Sebelum kelas bersihin muka lo. Jelek tau.”

Dira menerima botol itu seraya mengangguk dan meminumnya. Setiap tegukan dalam tenggorokannya membuat perasaan gadis itu kembali membaik.

“Gue bisa jaga rahasia, kok. Lo boleh cerita kapanpun ke gue. Gue selalu ada buat lo, Ra..” ujar Galih sembari membereskan makanannya.

Dira menatap Galih seraya mengangguk. “Iya, Gal. Gue tau lo baik banget. Tapi gue rasa, gue belum bisa ceritain masalah ini ke siapapun.” Gadis itu mendekap botol air di dadanya.  Kemudian ia melirik jam tangan hitam dipergelangan kirinya. “Habis ini masuk. Gue mau beres-beres muka dulu. Sekali lagi, makasih ya..” kata Dira sambil menepuk pelan bahu Galih.

Galih mengangguk seketika, ditatapnya tubuh Dira yang berjalan dengan gontai menuju tangga, pemuda itu membaca kesedihan dalam setiap langkah yang dibuat Dira. Derap kaki yang memilukan.

Pasti gara-gara Daren. Pasti.




-continued-

Minggu, 17 Januari 2016

Petrichor (Cerita Bersambung)

Holaaaa manteman..
Udah lama gak pernah nulis cerita nih.. So, otak, tangan, imajinasi hampir aja karatan! Huhu..
Gue lagi bikin cerita baru nih, bukan fan fiction sih, but hope you'll like it ^--^
---

Petrichor - PART 1



Sebuah bangunan yang tampak kokoh dan megah. Bangunan tua yang telah berdiri lama setelah Indonesia merdeka. Bercatkan putih, bertingkat tinggi, dan berfasilitas lengkap. SMA Budi Utomo. Ya, itu namanya. Sekolah dengan sejuta cerita didalamnya. Sekolah bertaraf nasional yang membuat penduduk kota Jakarta berebut untuk mengambil kursi belajar didalamnya. Bahkan, yang berasal dari luar kota pun, berusaha untuk dapat menimba ilmu disana.

Sekolah ini juga memiliki asrama, dan seluruh siswa BU, begitu sebutannya, harus tinggal disana. Kau takkan pernah menyesal bisa bersekolah disini, termasuk Dira. Gadis cantik berambut indah itu.
Pagi ini cukup cerah. Dari atas sini, loteng tertinggi gedung SMA Budi Utomo, kau bisa merasakan betapa nikmat dan syahdunya rahmat Tuhan. Kau akan mendengar kicauan anak-anak burung gereja berterbangan menyamai tinggimu tanpa penghalang atap bangunan. Harum embun merengkuhmu, menyingkirkan penat. Angin pagi menggelitik nakal dikulitmu, membuatmu tersenyum manja pada Sang Pencipta.

“Ngapain lo disitu?”

Suara itu membuat gadis berkulit putih itu terperanjat. Ia memutar badannya untuk menemukan sumber suara lantang yang menyapanya, ah lebih tepatnya, membentaknya tadi. “Berdiri. Lo gak lihat?” jawab gadis itu datar.

“Songong. Anak baru aja belagu. Ini tempat gue, turun lo.”

Dira mengernyit heran, “Tempat lo? Gue udah lima hari berturut-turut maen kesini, dan gak pernah ada orang yang nongkrong. Terus sekarang, dengan tiba-tiba lo nyuruh gue turun? Gak kebalik, mas?”

Pemuda itu mendekat dengan wajah menakutkan, mungkin ia sedikit tersulut dengan kata-kata yang diucapkan Dira. “Emang gue kesininya waktu senja. Gue jarang kesini pagi.”

“Nah, gue rasa sekarang masih pagi. Mendingan lo nunggu sore dulu, baru kesini. Sekarang giliran gue.” Kata Dira seraya meninggalkan pemuda itu sambil mengibaskan rambut hitamnya.

“Gak bisa. Ini tempat gue. Lo itu murid baru, jadi lo gak berhak.”

Dira memercingkan mata, membalikkan badannya untuk kedua kalinya. “Emang lo berhak? Ini juga sekolah gue, sama-sama bayar, jadi lo gak boleh ngomong gitu.”

Pemuda itu mendekat, bibirnya tersenyum miring, bola matanya melirik nakal. Kini jarak Dira dan dirinya begitu dekat. Gadis itu berdegup hebat, ia takut akan apa yang terjadi pada dirinya. “Gue anak ketua yayasan disekolah ini. Gue udah mesen tempat ke Papa, untuk jadi markas gue. Dan gue pesen tempat ini. Kalau lo gak percaya, silahkan tanya ke seantero sekolah ini, siapa Galih Bagaskara yang sesungguhnya.” Kata pemuda itu sembari menunjuk dirinya sendiri.

Dira memucat seketika. Mata pelebur tembaga milik pemuda dihadapannya menghujam pandangannya dahsyat. Ia mulai menjadi kikuk, merendahkan sedikit tubuhnya. “Oke, sori. Gue salah.” Begitu ucap gadis itu sedikit gengsi. Dengan keadaan dongkol, ia berjalan menuju tangga untuk turun dari loteng ini.

“But we can make a deal..” ujar pemuda itu menghentikan langkah Dira. “Kita bisa memakai tempat ini berdua.”

Dira memutar bola matanya, menoleh pada pemuda yang mengaku bernama Galih tadi. “Berdua lo? Dih, ogah.”

Galih terkekeh pelan, “Hanya tawaran sih, kalo gak mau gapapa. Gue malah seneng karena bisa nikmatin pagi dan sore sendirian disini.” Ucapnya acuh seraya duduk pada sofa yang telah lapuk ditengah loteng. Memandang langit pagi sambil menengadahkan kepalanya.

Dira nampak menimbang-nimbang. Antara gengsi dan ingin. Sedikit mengutuk dirinya sendiri, mimpi apa semalam, bisa bertemu makhluk sebuas ini.

“Oke, gue setuju.” Ucap gadis itu lantang pada pemuda yang memunggunginya dibalik sofa.

Galih tersenyum puas, ia menang. “Bagus. Tapi, syaratnya lo harus diem dan gak boleh berisik. Ini adalah tempat kedamaian. Lo bebas bercengkrama dengan alam disini tanpa harus mengeluarkan suara.”

Dira membuat mukanya jelek, menghina Galih dari belakang.

“Gak usah ngejek gue. Kalau mau, sini, sekalian didepan gue, jangan dibelakang.”

Dira melebarkan matanya seketika. Tau darimana dia? Dia manusia atau bukan sih?

“Oke, silahkan masuk kelas ya nona cantik yang galak. Awas telat masuk. Selamat datang dirumah gue..” kata Galih seraya melambaikan tangan kanannya.

Dira manyun seketika, “Kalau bukan anaknya ketua yayasan, gue udah bunuh lo..” ujar gadis itu dan bergegas menuju tangga.

Galih tertawa geli. “Hati-hati  turunnya, Dira..”

Dira menegang kembali. Galih memanggil namanya, tau darimana? Tak ada tanda pengenal dalam balutan seragamnya. Ah, bodo amat. Paling juga penggemarnya yang sok kegantengan. Dengan cuek, gadis itu menuruni tangga menuju kelasnya.


Malam yang biasa kelabu itu kini tampak mencumbu. Kegelapan-kegelapan datang tak hanya untuk mengusik, tapi ia menemani. Redup sinar sabit nampak malu-malu hinggap dibadan awan yang gulita.

Galih tersenyum sendiri mengingat kejadian tadi. Gadis dengan rambut ikal yang dibuatnya marah kini tampak menarik hati. Mengingat muka galaknya tadi serasa ingin cepat-cepat bertemu pagi.

“Heh bro, cengar cengir sendiri. Kesambet lo.” Tepuk Daren pada bahu Galih.

Galih mengerjap, malu kepergok melamun. “Apaan sih, gue keinget kejadian tadi. Haha..”

“Wih.. Kejadian apa? Cerita dong cerita.”

Galih membenarkan posisi duduknya di sofa. “Gue udah ketemu sama adik lo.”

Mata Daren terbelalak lebar, “Serius? Nemu dimana?” tanya Daren antusias.

Galih mengernyit heran, “Nemu.. Nemu. Lu kira cendol.” Cibir Galih seraya meninju pelan lengan Daren. 
“Dia cantik, lucu, tapi sayang rada galak..”

Daren tertawa lepas. “Yang gue tau, Dira itu nyebelin, manja, sok cantik, sok cari perhatian. Itu yang bener. So, jangan kebius sama sikap sok cueknya dia.”

“Gue heran sama elu, Ren. Padahal dia adik lo. Kenapa dari dulu kagak pernah akur sih. Gue yakin dia orang baik. Gak seperti yang lo kira kok.”

Daren mendengus pelan, “Dia bukan adik gue. Dia anak selingkuhan Papa.”

Galih tertawa miris sembari menggelengkan kepalanya, “Terserah elu deh, Ren. Gue angkat tangan kalo masalah ini..”

Daren menatap Galih dalam diam. Ia sudah menganggap Galih seperti saudaranya sendiri, bukan sahabatnya lagi. “Maka dari itu, Lih. Gue butuh banget bantuan lo. Tolong jagain Dira ya. Ini adalah permintaan Papa yang paling gak bisa gue turutin. Gue benci banget sama cewek itu.”

Galih mengangguk seraya menepuk bahu Daren, “Gue bakal bantu, Ren. Tapi jangan nyesel kalo suatu saat nanti lo tahu begitu baiknya Dira.”


Kau pasti akan menginginkan kedamaian dalam cinta kasihNya. Tak peduli seberapa banyak bebanmu, tak peduli arti kesendirianmu, tak peduli riuhnya guruh, kau akan tetap bersenandung manja memujaNya. Dengan ciptaan-ciptaanNya yang begitu hebat, tatanan hidup yang sempurna, kau takkan pernah bosan bila melihatnya diatas sini.

Dira mengambil beberapa bidikan dari atas loteng. Matahari yang mulai muncul ke bumi, para pedagang yang mulai mengemas tokonya, anak-anak yang akan pergi sekolah, dan riuh gemuruh keramaian klakson kota Jakarta.

“Uhuk.” Galih berdeham, menghentikan kegiatan Dira.

“Apaan sih lo. Batuk-batuk gak jelas.” Cibir Dira seraya mulai melihat-lihat hasil jepretannya.

“Wih.. suka fotografi.” Decak Galih kagum seraya duduk disamping Dira. Menggantungkan kedua kakinya di udara. “Nih, ambil.” Ujarnya seraya menyodorkan sepotong sandwich.

Dira menerimanya dengan ragu.

“Tenang aja, gue gak ngapa-ngapain ntu sandwich. Gak usah takut.” Kata Galih yang mampu membaca gerak-gerik Dira.

“Jangan anggap gara-gara sandwich ini, gue bisa baik sama lo.” Ketus Dira seraya melahap sandwich ditangannya.

Galih terkekeh pelan, masih melahap sandwichnya. Angin pagi begitu dekat, sedekat nadi menjelajahi diri. Kibaran rambut pemuda itu mengusik hati, membuatnya terlihat lebih tampan dengan gigi gingsulnya yang kadang terlihat tanpa pernah memberi janji. “Gue rindu kampung halaman, makanya gue suka kesini..”

“Kampung halaman? Lo orang mana?” Dira bertanya dengan kening berkerut.

“Gue mah asli Pacet, Jawa Timur. Daerah yang indah. Ia dipeluk berbagai gunung, banyak tempat pariwisata disana, air terjunnya juga indah.. Tak banyak orang tau dimana tepatnya, itu yang membuatnya kurang terjamah. Tapi itu menguntungkan banget. Nuansa alaminya masih terasa.”

“Bukannya ketua yayasan itu asli Jakarta, ya? Dari jaman gue belum lahir sampai sekarang kan asli Jakarta.”
Galih tertawa terbahak-bahak. Bahkan ia hampir saja tersedak. “Masalah anak ketua yayasan, gue bohong. Itu Cuma gertakan aja sih sebenarnya, haha.”

“Diih. Lo nyebelin banget sih.” Ujar Dira sembari memukuli Galih dengan kedua telapak tangannya. “Dasar rese, tukang ngibul, sok-sokan..” caci Dira tak ada habisnya.

“Hahaha, ampuun ampuun. Gue gak maksud bohongin elu kok. Habisnya lo songong sih. Kalo gue kagak ikutan songong ya bakalan kalah..”

“Peduli amat gue. Turun lo! Turun sana giih..”

“Eit, peraturan tetap peraturan. Lo berjanji disaksikan alam lho.. Haha.”

Dira mencibir kesal, “Iya, iya. Huuh.”

Gadis itu beranjak dari duduknya menuju sofa. Disana, ia tidur menghadap angkasa.

Galih melihatnya,  bak siluet bidadari yang diceritakan surga. Begitu anggun dan indah. “Gue salut sama lo. Jarang lho, ada anak cewek yang ngelihat alam terbuka gini bisa bahagia.”

Dira tersenyum simpul. “Ada sebuah kejadian yang sangat berarti buat gue karena alam.” Ujar gadis itu sambil berusaha terbangun dari rebahnya. “Ehem, lo kenal Daren?”

Galih mengerjap seketika. Kenal,banget. “Daren kelas dua belas itu?”

Dira mengangguk, “Yap. Dia abang gue.. Dia yang pertama kali ngasih tau gue tentang megahnya alam.” ujar Dira seraya mendekat pada Galih. Kedua kakinya kembali tergantung diudara.

Galih mengernyit heran. Karena Daren? Bagaimana bisa? Dira tau gak sih, kalau si Daren benci banget sama dia? “Emang lu diapain sama abang lo itu?”

Dira mengikik, membekap mulutnya sendiri. “Karena.......”

 To Be Continued~