.
.
Setelah membasuh mukanya, Dira langsung berjalan menuju
kelasnya. Langkah kakinya tak sejalan dengan keinginan hatinya. Ingin sekali
rasanya gadis itu bolos dari jam pelajaran sekolah pagi ini.
Kelas Dira terletak dikoridor paling ujung lantai satu. Kelas
yang cukup luas untuk sekedar menampung murid sejumlah tiga puluh satu. Kelas
yang bercatkan putih itu nampak asri dengan tanaman-tanaman hias didepannya,
terutama bunga mawar dan melati yang tumbuh rindang sekali. Saat Dira masuk ke
dalamnya, dua orang lelaki yang duduk di kursinya sontak berdiri
mempersilahkan.
“Kura-kura kecemplung kali, hai Dira selamat pagii..” goda
cowok berambut ikal dengan lesung pipit dikedua pipinya.
Dira tersenyum seketika, “Pagi juga Sandi..”
“Aseekk.. Cakep banget dah elu.”
Cowok berambut jabrik menoyor kepala cowok bernama Sandi
tadi, “Lu tau aja yang bening-bening. Tau gitu mata lu gua lakban tadi pagi.”
“Lu bilang gitu karena lu iri kan sama gua? Lu gak pernah
dapet ucapan selamat pagi dari Dira, kan? Jangankan selamat pagi, sms lo aja
kagak pernah dibales kan? Hahahaha..” Sandi terpingkal.
Muka pemuda jabrik itu sontak memerah sembari mengelus-elus
rambutnya.
Dira mengernyit seketika seraya duduk pada kursinya, “Jadi
selama ini yang neror gue itu lo, Ka?” terka Dira seketika.
Pemuda bernama Raka itu mengibaskan tangannya, “Gue gak neror
kok, Cuma mau kenalan aja.”
Sandi menepuk bahu Raka, “Hey Ka. Sebelum lo kenalan sama
cewek, tolong bedain teks yang isinya minta kenalan sama broadcast di line. Lo
kenalan atau iklan??”
Dira terkekeh lebih keras, “Tau nih, Raka. Pake sms mama
minta pulsa pula, hmm.”
Muka Raka merah padam, “Tolong jangan bully gue, please.”
Ucapnya dengan muka centil.
Sandi pura-pura ingin muntah. Dira melengos.
“Apaan sih lu berdua ganggu banget. Pergi sana..” tiba-tiba
saja teman sebangku Dira muncul seraya memukuli Sandi dan Raka dengan penggaris
plastik.
“Ubur-ubur temennya bandeng. Yuk kabur, satpamnya dateng.”
Kata Sandi seraya menarik Raka dan berlari meninggalkan bangku Dira.
Dira tergelak melihat tingkah kedua teman sekelasnya tadi.
Setelah tawanya mereda, gadis itu melirik kawannya yang baru saja mengusir
Sandi dan Raka.
“Lo habis nangis ya?” terka gadis berambut kemerahan itu pada
Dira.
Dira tersenyum kecut kehabisan alasan, “Lo tau aja, Ta.”
Nata tersenyum miris. “Itu kejadian udah kemarin, Ra. Kenapa
masih lo inget-inget, sih..”
Dira tersenyum datar, “Iya, sorry. Biasa, gue kan tipe cewek
yang gagal move on, hehe..”
“Jijik banget lo..” kata Nata seraya mengacak rambut Dira.
“Udah, Ra. Lo harus lebih kuat dari ini, baru digituin aja udah lembek. Lo kudu
strong. Wajib. Kalo lo kuat, semua cacian dari orang lain akan jadi angin yang
hilang dalam sesaat.”
“Thanks ya Ta. Lo pengertian banget..” ujar Dira seraya
memeluk sahabatnya itu.
“Iya sama-sama. Be brave ya honey.. Oh iya, Kak Galih
gimana?”
Dira langsung melepas pelukan Nata. “Gimana maksud lo?”
“Yaa.. Lo masih ketemu sama dia kan?”
Dira mengangguk, “Sure.” Ucap Dira menggantung, matanya
melirik aneh pada Nata.
Nata nyengir kuda seraya mengeluarkan buku fisika dari dalam
lokernya. “Ya syukur deh. Setidaknya dia bisa jadi pengganti abang lo..”
Mulut Dira membentuk vokal o tanpa
suara sembari mengangguk-angguk. Kemudian gadis itu tersenyum. Cukup singkat.
Tiba-tiba terlintas raut muka Galih yang menenangkannya tadi.
-
-
Saat istirahat jam pertama, Daren bermain gitar didekat
koridor paling ujung lantai dua SMA Budi Utomo. Pemuda itu sukar sekali lepas
dengan gitarnya. Terkadang irama yang dipetiknya terdengar sayu, kadang
terdengar riuh. Sampai akhirnya, ia terhenti kala dua pasang kaki berhenti
tepat dihadapannya.
“Ngapain lo?” ujarnya sembari melirik sekilas orang itu.
“Lo apain Dira?”
Daren mendengus. Ia tersenyum sinis seperti biasanya. “Jadi
dia ngadu sama elo? Bagus deh..”
Galih duduk menghadap Daren. “Jangan langsung menilai orang
lain seenak jidat lo. Dira gak cerita apapun ke gue. Tapi tadi pagi dia nangis,
dia nangis kenceng banget diloteng. Gue paksa ngaku, tapi dia gak mau jawab
pertanyaan gue. Dan gue yakin, tangisan Dira tadi bukan tangisan seorang anak
manja yang lagi kangen sama orang tuanya. Itu tangisan sakit hati, Ren.” Kata
Galih lantang, membuat Daren seketika menciut. “Lo tau apa yang lebih sakit
daripada sebuah pukulan? Itulah kata-kata. Jaga omongan lo. Apalagi sama cewek
kalo lo gak mau dibilang banci..”
“Eit, dah. Kok lo yang jadi marah-marah ke gue?”
Galih mendengus kesal. “Gue ngelakuin apa yang seharusnya gue
lakuin. Gue ngejaga Dira. So, no ones can’t hurt her include you.”
Dan Galih pergi begitu saja tanpa meminta penjelasan apapun.
Daren masih tercengang. Ia terkejut dengan kejadian apa yang
baru saja terjadi padanya. Namun tiba-tiba, senyuman manis yang muncul dari
bibir tipisnya kembali mengembang. Ia menunduk perlahan, memainkan gitarnya
kembali.
Karena kau tak mengerti bagaimana cara ia mengukir luka itu.
Begitu kuat dan tak kan pudar oleh waktu. Kau bilang kau orang yang paling
mengertiku, tapi tidak. Kau belum begitu dalam menyelami darah-darah masa
laluku. Terserah kau berkata apa, kau caciku bagaimanapun pahitnya. Namun luka
tetaplah luka. Walaupun ia sembuh, namun bekasnya masih ada.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara langkah kaki
mendekat. Daren menghentikan permainan gitarnya. Ia menoleh pada dua pasang
kaki dihadapannya. Kemudian menengadahkan pandangannya.
“Papa?”
Lelaki paruh baya itu tersenyum
hangat. Lalu mengusap kepala Daren.
-
-
Pemuda itu, mau tak mau, harus berjalan mengelilingi lantai
satu. Ia tak pernah bertanya soal kelas yang dihuni adiknya. IPA atau IPS, ia
bahkan tidak tahu menahu soal hal itu. Setiap kelas, dimasukinya, ia bertanya
pada gadis-gadis yang terus menerus berteriak memanggil namanya. Setelah
gadis-gadis centil itu tahu siapa yang dicari oleh sang pemuda, mereka menjawab
“Tak tahu.” Dengan muka yang sedikit tertekuk.
Daren mengangkat bahunya cuek.
Dan pada akhirnya, tersisa kelas dikoridor paling ujung.
Kelas dengan taman bunga dihadapannya. MIA-5.
Pemuda itu menemukan titik fokusnya di dalam kelas. Kelas
yang awalnya gaduh, mendadak menjadi hening kala Daren memanggil nama Dira.
Gadis yang namanya dipanggil tadi sedikit tak percaya tentang
apa yang telah didengarnya. Daren memanggilnya? Itu mustahil. Kemudian, gadis
itu tak mengusik kehadiran Daren yang berdiri didepan pintu. Daren tak mungkin
memanggilnya, begitu tegas Dira dalam hati.
Daren berjalan memasuki kelas. Suara pekikan dari gadis-gadis
belia mulai didengarkannya. Daren adalah seorang idola di Budi Utomo, jadi tak
heran begitu banyak gadis yang memujanya.
“Ikut gue.” Kata Daren tegas ketika sampai didepan bangku
Dira.
Dira perlahan mendongak. Ia mengernyit heran, “Aku?”
Dengan cepat, Daren menggenggam tangan Dira dan menarik gadis
itu keluar kelas. Suara gemuruh mulai terdengar diseantero jalan yang mereka
lalui. “Yang cakep jelas lebih milih yang cantik..” “Sumpah mereka cocok
banget..” “Si Dira main tikung aja..” “Hancur harapan gue..” “Udah ah, lu mah
sama kambing aja..” “Dasar cewek genit, ke laut aja lu mah..”
“Bang, kita kemana?” Dira selalu berusaha bertanya pada
Daren. Tapi sayang, pemuda itu tak pernah menjawab. Ia tetap menggenggam tangan
adiknya sembari terus melangkah. Langkah kakinya yang panjang membuat gadis itu
berlari kecil, mencoba menyelaraskannya.
Saat hendak keluar dari sekolah, Galih menatap keduanya, dan
juga genggaman tangan itu. Entah perasaan apa yang menggelitik hatinya, ia tak
menyukainya. Dira menyadari ada Galih disana. Gadis itu menarik seulas senyum
pada bibirnya untuk pemuda itu dan Galih membalasnya dengan ragu.
Daren membawa Dira menuju ruang tamu asrama. Dira tetap saja
bertanya, “Kita mau kema---?”
“Sayang..”
Gadis itu menoleh pada sumber suara tadi. Ia melihat seorang
lelaki paruh baya dihadapannya. Ada kumis tipis diatas bibirnya yang merah itu.
Lelaki berperawakan tegap, tinggi, dan gagah itu mengangkat kedua tangannya.
Berharap gadis itu memeluknya.
“Papa..” Dira melepas tangan Daren dan berlari menuju
Papanya. Ia memeluk Papa dengan sangat erat.
“Papa rindu, sayang. Gimana kabarmu?” Papa mencium kening
Dira setelah gadis itu tak lagi dalam dekapnya.
“Baik, Pa..”
“Daren selalu jaga kamu, kan?”
Hati Dira mencelos seketika. Perlahan, ia menatap Daren
dengan ragu.
Daren menggigit bibir bawahnya. Harap-harap cemas dengan
jawaban Dira nanti.
Dira menatap mata Papanya kembali, dengan hiasan senyum
diwajah manisnya. “He always keeped me. Dia menjalankan tugasnya dengan baik,
Pa..”
Papa ikut mengukir senyum, “Bagus deh kalau gitu. Karena
kalian berdua adalah saudara, jadi harus akur ya..”
Dira tercekat seraya mengangguk. Daren tersenyum miris.
“Yaudah, Papa pamit dulu.”
“Kok buru-buru Pa? Kita baru ketemu lho..” sergah Daren.
Papa terkekeh pelan, “Papa ada proyek di Jakarta. Mau ke
lokasi kok lewat sekolah kalian, jadinya mampir sebentar.” Ujar Papa seraya
membereskan barang bawaannya.
Dira dengan sigap membawakan tas Papa. “Yaudah,
kalian hati-hati ya.. Papa pulang dulu.” Kata Papa seraya mengecup puncak
kepala Dira. Lalu memeluk Daren.
Kemudian, Daren dan Dira mengantarkan Papa mereka sampai ke
mobil. Disana ada Pak Mul, sopir pribadi Papa yang menyapa mereka dengan
hangat.
Dira memberikan tas Papanya sembari mencium punggung tangan
beliau. Begitu juga Daren.
“Papa pamit.” Kata Papa sembari menutup pintu mobil.
“Hati-hati, Pa.” Kata Daren.
“Sukses proyeknya yaa Papaku..” tambah Dira.
“Makasih sayang, Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikum
salam.”
Dan mobil sedan hitam milik Papa meninggalkan kawasan sekolah
dengan dentuman khasnya.
Dira membuang nafas. Ia merasa tak bebas menghirup udara saat
berada disekitar Papa tadi. Lalu gadis itu menoleh pada sosok tampan
disampingnya. “Ayo ke kelas, Bang..”
Daren menatap mata Dira dengan tajam. “Gak usah sok deket
sama gue. Sampai kapanpun, gue gak akan pernah nganggap lo ada.” Ucap Daren
pedas seraya meninggalkan Dira diparkiran.
Gadis cantik itu merasakan sesak lagi. Sesak yang memilukan
hati. Dengan terpaksa, ia mengukir senyum pada bibirnya yang merah jambu itu.
Mencoba untuk lebih tegar lagi. Karena ia yakin, setiap usaha memerlukan waktu.
-